Kyai Jo mengangguk-anggukkan kepalanya setelah melihat rekaman CCTV dan juga mendengarkan penjelasan putranya. Ia menerima semua masukan dan juga beberapa bukti dari kerja keras Raka untuk menemukan pencuri sebenarnya.
"Setelah shalat ashar tolong panggilkan santri bernama Safira Anggraini, ya."
Raka mengangguk paham. "Kalau begitu Raka pamit ke kamar," ujar Raka.
"Ya, ajak Rizki main. Umi lagi bantuin masak makan malam," pinta Kyai Jo pada putra sulungnya.
"Baik, Bi. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam."
Setelah kepergian Raka dari Ndalem, Kyai Jo bangkit dari duduknya untuk mengambil secangkir teh dan juga jeruk nipis yang biasa disediakan pihak konsumsi sebagai minuman sehari-hari Kyai. Setelah memasukkan air perasan jeruk nipis tersebut ia membuang kulit jeruk ke dalam tempat sampah.
"Ada saja cobaan seseorang dalam mencari ilmu," monolognya sembari menggelengkan kepalanya pelan.
Qory yang sedari tadi mencari-cari keberadaan Raka pun akhirnya berjumpa di dekat area Ndalem, Qory mencegat perjalanan Raka yang hendak kembali ke kamar.
"Gimana, Mas? Katanya mau bantuin urus masalah Nina," tanya Qory.
"Sudah saya urus, sekarang kamu kembali ke kamar."
"Mas Raka suka ya sama Nina?" tanya Qory tanpa pikir panjang.
Raka lantas mengerutkan keningnya lalu menggelengkan kepala. "Atas dasar apa kamu menyimpulkan bahwa saya suka Nina?"
"Mas Raka tumben amat mau ngurus beginian, biasanya Mas Ali doang. Makanya saya curiga," ujar Qory.
"Keamanan pondok itu juga tanggung jawab saya, jangan sok tau kamu," ujar Raka ketus.
"Yaelah saya cuman nanya. Apa jangan-jangan Mas Raka beneran suka Nina?" Ah, lagi-lagi Qory menanyakan hal yang sama.
"Tidak."
"Oh ya. Tolong nanti panggilkan santri Safira Anggraini untuk ke Ndalem sehabis shalat Ashar."
Setelah berucap demikian, Raka langsung berjalan meninggalkan Qory yang masih berdiam diri di tempat. Qory menatap kepergian Raka dengan perasaan jengkel.
"Dasar beruang kutub. Pen gue telen lama-lama," monolognya sembari memeragakan gerakan layaknya hendak menyergap mangsa.
"Bisa-bisanya Nina suka sama cowo begituan."
***
Seperti yang telah diamanatkan oleh Raka, Qory pun pergi menghampiri kamar lima belas untuk memanggil santri bernama Safira Anggraini tersebut dengan ditemani Ayu.
"Safira anak kelas berapa dah?" tanya Ayu.
"Nggak tau, Safir-- tunggu bentar. Safira? Fir?"
Ayu mengerutkan keningnya. "Kenapa Qor?" tanyanya.
"Jangan-jangan Safira itu orang yang dimaksud Nina!" cetus Qory.
Ayu pun ikut menyadarinya. Petunjuk nama ada pada 'Fir' dan gadis yang dipanggil Kyai bernama Safira Anggraini.
"Kayaknya kita nemuin pelaku sebenarnya!" imbuh Qory dengan antusias sampai mereka tidak sadar bahwa mereka sudah tiba di depan kamar nomor lima belas.
"Hush, jangan suudzon dulu. Kita nunggu keputusan Pak Kyai," ujar Ayu.
Qory mengangguk paham lalu menggerakkan tangannya untuk mengetuk pintu kamar. "Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam. Ada apa?" tanya salah seorang santri yang baru saja membuka pintu.
"Safira Anggraini dipanggil Pak Kyai ke Ndalem," ujar Qory.
"Fira! Kamu dipanggil Pak Kyai ke ndalem," seru santri tadi memanggil Safira.
Qory dan Ayu saling adu pandang sejenak. Seakan paham dengan isi otak masing-masing, mereka beralih melihat Safira yang baru saja keluar dari kamar.
"Kenapa dipanggil, ya?" tanya Safira.
"Kurang tau, kayaknya ada perlu," sahut Qory.
Mereka pun mengantar Safira ke Ndalem untuk bertemu Kyai Jo. Begitu sampai di sana, Qory dan Ayu pamit undur diri untuk kembali ke kamar.
"Assalamu'alaikum, Kyai."
"Wa'alaikumsalam, Nduk."
Safira mendudukkan dirinya di lantai sambil menundukkan kepalanya. Kyai Jo tak kunjung membuka suara dan menjelaskan mengapa ia datang kemari. Safira perlahan mendongakkan kepalanya menatap Kyai Jo yang tengah menganduk gelas menggunakan sendok.
"Ada apa Kyai manggil saya?" tanya Safira.
"Saya dengar pencurinya sudah ketemu?" tanya Kyai Jo basa-basi.
Safira mengangguk ragu. "Alhamdulillah sudah, Kyai."
"Kamu senang?"
Safira seketika merasa kikuk tapi kemudian ia mengangguk semangat. "Tentu senang, Kyai. Syukurnya barang milik Suci tidak hilang."
"Saya juga senang jika santri pesantren saya mau menerapkan sikap jujur dan saya berharap kamu juga mau jujur dengan saya," ujar Kyai Jo dengan lembut. Tak ada emosi sedikit pun dari nada bicaranya tetapi mampu membuat Safira gugup.
"Maksud, Kyai?" tanya Safira.
"Coba kamu minum air teh ini," titahnya.
"Untuk apa Kyai?"
"Saya mencurigai kamu telah memfitnah Nina," ujar Kyai Jo terus terang.
Safira spontan membulatkan matanya terkejut. "Astaghfirullahal'adzim, tidak Kyai."
"Hahaha, saya hanya mencurigai kamu bukan membetulkan bahwa kamu pencurinya."
"Lantas kenapa saya harus minum air teh ini?" tanya Safira.
"Air ini sudah saya beri doa khusus. Apabila kamu minum rasanya asam, maka itu membuktikan bahwa kamu pencurinya," terang Kyai Jo sambil menunjuk ke arah gelas teh yang ia siapkan.
"Tetapi bila rasanya biasa saja, berarti bukan kamu pencurinya."
Safira mengangguk paham lalu menggerakkan tangannya untuk mengambil teh tersebut. Sebelum itu ia membaca basmalah terlebih dahulu lalu meminumnya. Tentu saja ia percaya begitu saja ucapan Kyai.
"Bagaimana rasanya?"
Safira menahan rasa asam pada mulutnya tak lupa juga menetralkan ekspresi wajahnya agar tidak membuat Kyai Jo curiga.
"Tehnya enak, Kyai."
Kyai Jo tersenyum senang lalu mengangguk singkat. "Kamu boleh ke kamar."
"Saya pamit, Kyai. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam."
***
Kenapa Kyai Jo nyuruh Safira minum teh?