Revisi!
Sepulang orangtua Nina dari pondok, mereka langsung memanggil Nina untuk ikut berkumpul di ruang keluarga. Nina tahu pasti mereka akan membahas perihal keluarnya Nina dari pondok. Dengan gontai Nina berjalan menuju sofa panjang dan mendudukkan tubuhnya.
"Nina."
"Iya, Pak?"
"Kamu masih mau mondok?" tanya Abdul dengan serius.
Nina mengangguk dengan pasti. "Masih, Pak."
"Ya sudah."
Nina mengerutkan keningnya. "Ya sudah? Apanya, Pak?"
"Ya sudah kamu mondok aja, di rumah juga kamu nggak berguna," sahut Abdul dengan tenang sembari menyandarkan tubuhnya pada kepala sofa.
Nina sontak melakukan selebrasi dengan berteriak antusias. "YEAY!"
"Heh! Nggak boleh teriak-teriak!" tegur Hainun.
Nina menggaruk tengkuknya yang tak gatal lalu kembali duduk. "Kok kalian berubah pikiran?" tanyanya.
"Tadi kata Pak Kyai, suruh minta pendapat kamu. Kamu kayaknya masih mau mondok ya Bapak bisa apa? Yang penting, kamu serius belajar sama ngajinya, Bapak sama Mama tugasnya tinggal mendoakan sama nyari duit buat kamu. Nakalnya dikurangin, doa Bapak setiap hari sama, semoga anak Bapak bisa jadi orang yang baik dan berguna bagi orang lain."
Nina mengangguk paham. Seketika rasa bersalah mulai muncul. Memori tentang kenakalannya berputar-putar di kepalanya hingga membuatnya menundukkan kepalanya, enggan menatap mata teduh sang ayah.
"Makasih, Pak. Maafin Nina juga ...," ujar Nina lirih.
"Bapak juga minta maaf udah larang kamu mondok, di sana kamu jaga diri ya. Kamu itu anak satu-satunya, harta Bapak sama Mama satu-satunya, kalo kamu nggak ada siapa yang perlu Bapak sama Mama perjuangin?"
"Tinggal bikin an---"
"Nina, Mama sentil ya kamu!" tegur Hainun kala melihat aba-aba putrinya akan melontarkan kalimat yang sama menjengkelkannya seperti kemarin.
"Maaf-maaf, hehe."
***
"Kenalin, nama saya Luna."
Qory, Rita, dan Ayu menatap intens pada sosok gadis asing yang tengah duduk di lantai kamar mereka. Mereka tidak menyangka anak baru akan mengisi kamar ini, dan lebih anehnya ..., gadis itu menempati ranjang Nina.
"Luna, tas kamu jangan ditaro di situ, itu udah ada yang punya," tegur Ayu pada Luna.
Luna melihat ke samping di mana tasnya berada. "Tapi anaknya belum balik, jadi boleh dong Luna tempatin?"
Qory menatap Ayu dan Rita bergantian. "Boleh nggak, heh?" tanyanya.
Ayu menggaruk tengkuknya lalu mengangguk ragu. "Boleh kali, katanya 'kan Nina bakal keluar."
"Yaudah, Luna tempatin aja lagian kalo Nina balik bakal tidur di kasur satunya lagi," ujar Ayu pada Luna.
Sebenarnya ada dua ranjang yang tersedia dalam bentuk kasur bertingkat tiga, tetapi banyak anak enggan mengisi kasur bagian atas karena sangat menyulitkan mereka ketika dipinta bergegas bangun saat subuh.
"Sekarang kita temenan, 'kan?" tanya Luna dengan nada senang.
"Heem," sahut Rita singkat.
"Luna, kamu anak kelas berapa?" tanya Qory.
"Kelas sepuluh IPA-2," sahut Luna.
"Oalah adek kelas ...," gumam Ayu.
"Kak, anaknya Pak Kyai udah punya calon belum si?" tanya Luna.
Qory agak terkejut diberi pertanyaan seperti itu oleh Luna. Jika Nina mendengarnya mungkin akan terjadi keributan. Qory mengedikkan bahunya, "Aku nggak tau, tapi kayaknya udah punya cewe."
Luna melenguh pelan. "Yah, padahal ganteng gitu. Kalo gitu Luna pergi dulu, Kak."
"Iya, Lon eh Lun."
Qory menatap punggung Luna yang semakin menjauh. "Wah, kayaknya saingan Nina nambah."
Ayu mengangguk setuju. "Mana Luna cantik banget, keliatan kalem dan anggun. Beda banget sama tingkah Nina yang kaya monyet."
***
"I can do it's all day!"
"Nina, YouTube-nya matiin!" titah Hainun kala putrinya memutar video melalui aplikasi YouTube dengan volume cukup kencang dengan lagu yang sangat asing di telinga Hainun.
"Iya-iya. Ini masih jauh pondoknya?"
"Lima belas menit lagi, sabar," sahut Hainun.
Nina mengangguk paham, ia pun membuka ponselnya untuk berbalas pesan dengan Ratna. Sahabat gilanya itu tengah menangis kala tahu Nina tidak jadi keluar dari pondok. Nina terkekeh pelan melihat wajah sembap yang Ratna kirimkan.
"Ratna kok nggak mau ikut, Nin?" tanya Abdul.
"Ratna lagi mewek, ngambek gara-gara aku nggak jadi keluar pondok," sahut Nina.
Lima belas menit berlalu, akhirnya keluarga Nina tiba di halaman parkiran pondok. Nina dengan antusias keluar dari mobil dan menyapa beberapa santri dan pengurus yang memang mengenalnya.
"Nina ke kamar langsung aja deh, Pak. Kalian aja yang ke Ndalem," ujar Nina sambil mengangkat tas yang berisikan baju dan makanan.
"Iya, ngaji yang tekun ya. Kalau hafalan kamu tiap bulannya meningkat insyaallah Bapak kasih hadiah," ujar Abdul.
Nina pun tersenyum semringah. "Janji ya, Pak."
"Janji."
"Kalau gitu Nina masuk dulu, assalamualaikum."
Setelah menyalami kedua orangtuanya, Nina berjalan masuk ke dalam pondok. Hainun melambaikan tangannya ke arah putrinya. "Wa'alaikumsalam, Sayang."
Hainun merasa bersalah pada putrinya. Ia mengusap perutnya yang mulai membuncit. Ia menatap suaminya yang masih memperhatikan punggung Nina yang semakin menjauh.
"Mas, kapan kita kasih tau Nina?" tanya Hainun.
"Nunggu dedeknya lahir aja deh, Bu."
Hainun tengah mengandung dan Nina tidak mengetahui hal tersebut. Miris sekali, Hainun tidak menepati kesepakatan mereka sebelumnya.
"Aku nggak mau punya adek lagi, Mama sama Bapak cuman punya Nina."
"Iya, Nina cuman satu-satunya anak Bapak sama Mama."
***
Raka melihat sosok Nina memasuki area pondok dengan riang sembari menenteng tasnya. Raka yang tengah menyapu teras rumahnya pun tersenyum kecil. Gadis itu tampaknya tidak jadi keluar, aura bahagia begitu masuk pondok sangat terpancar jelas.
"Astaghfirullahal'adzim, apa si yang gue bayangin?"
"Kamu ngomong sama siapa, Mas?" tanya Nyai Jo yang tengah menggendong tubuh Rizki.
"Ah, Raka ngomong sendiri Umi."
***