021

20.1K 2.8K 252
                                    

"DOKTER! JANTUNG PASIEN MELEMAH DOKTER!"

Keluarga Nina yang berada di luar ruangan pun langsung panik begitu mendengar seruan suster yang begitu lantang. Dokter yang semula berbincang dengan orang tua Nina pun langsung bergegas kembali masuk ke dalam ruangan. Hainun menangis di pelukan sang suami, sedangkan Raka dan ketiga teman Nina hanya dapat diam sambil berdoa agar Nina selamat menjalani masa kritisnya.

"Ya Allah ..., selamatkan putriku ya Allah ...," lirih Hainun dengan begitu parau. Putri satu-satunya tengah terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit.

"Nina pasti sadar, Mah. Insyaallah, sekarang kita berdoa aja," ujar Abdul sambil mengusap punggung istrinya yang terus menangis kencang.

Raka sebagai wakil pihak pondok pun ikut merasa khawatir dengan keadaan Nina. Seketika rasa bersalah timbul pada hatinya, tolakan yang Nina terima setiap harinya, sahutan ketus dan singkat yang selalu ia lemparkan pada Nina kini kembali berputar di kepalanya.

Rita memeluk kedua temannya yang kini sudah menitikkan air mata. Dokter sudah terlalu lama di dalam ruangan hingga membuat mereka merasa resah. Kabar Nina tak kunjung mereka dapatkan, pintu tak kunjung dibuka. Sampai lewat dua puluh menit menunggu, dokter kembali keluar dengan wajah lesu.

Hainun langsung melepaskan pelukannya dari sang suami dan beralih mendekati dokter. "Gimana putri saya, Dok? Apa putri saya baik-baik saja? Jawab, Dokter!"

Dokter menghela napas berat. "Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tetapi Allah berkehendak lain. Putri anda dinyatakan meninggal dunia akibat pendarahan yang cukup berat hingga nyawanya tak bisa diselamatkan."

Mendengar kabar buruk tersebut Hainun langsung jatuh pingsan, untung saja Abdul dan Raka langsung membantu memapah tubuh Hainun. Ketiga teman Nina sudah menangis dengan pilu, Raka sendiri sudah menitikkan air matanya. Dadanya bergemuruh dan terasa sesak seketika, kabar duka tersebut menghantam segala ekspektasinya.

"Nina nggak mungkin meninggal!" seru Ayu sembari bangkit dari duduknya dan menarik kerah dokter yang menangani Nina.

"Maaf sekali, tetapi teman kamu sudah tidak bisa diselamatkan."

"NINA!" seru Raka begitu sadar dari alam mimpinya. Keringat bercucuran dengan napas yang memburu. Rambutnya berantakan dan mata yang merah akibat menangis dalam tidurnya.

Raka mengedarkan pandangannya ke sekelilingnya, ia melihat jam dinding kamarnya yang menunjukkan pukul tiga dini hari.

"Astaghfirullahal'adzim ...," gumamnya sembari mengusap wajahnya.

"Cuman mimpi," monolognya.

Mimpi Nina meninggal cukup membuatnya merasa mimpi buruk. Ia langsung meraih ponselnya untuk memastikan kabar Nina. Ia ingat bahwa ia pulang dari rumah sakit sebelum Nina siuman. Gadis itu mengalami benturan keras pada kepalanya dan keretakan ringan pada pergelangan tangan kanan.

"Ya Allah. Aku ini kenapa si?"

Raka bangkit dari ranjangnya untuk pergi ke kamar mandi guna mengambil air wudhu. Mengingat masuk waktu salat malam, ia berniat untuk salat tahajud daripada tidur kembali dan terbayang mimpi buruk tentang Nina.

***

Sudah satu malam tapi Nina belum sadarkan diri. Qory dan kedua teman yang lainnya memilih untuk izin tidak berangkat sekolah dengan alasan ingin menemani Nina. Hainun dan Abdul juga menunggu putri mereka sadar. Nina sudah dipindahkan ke ruang rawat semalam setelah ditindak lanjuti pihak rumah sakit.

"Assalamualaikum."

Seluruh atensi kini tertuju pada pintu ruangan yang menampilkan sosok Raka dan Ali yang baru saja datang sambil menenteng sebuah bingkisan.

"Wa'alaikumsalam, Gus."

"Panggil Raka saja, Pak."

Ali dan Raka beralih melihat ke arah Nina yang masih terbaring di atas ranjang dengan mata terpejam. Sepertinya gadis itu belum siuman, batin Raka dan Ali.

"Kalau begitu kami tinggal sebentar, ya. Nenek Nina datang," pamit Abdul.

"Silakan, Pak."

Setelah kepergian Abdul dan Hainun, Raka dan Ali memilih untuk duduk di atas kursi yang tersedia di sebelah ranjang yang Nina tempati.

"Nin, bangun Nin. Gebetan kamu dateng nih ...," bisik Qory tepat di telinga kiri Nina yang masih belum sadar.

"Emang dia denger lo ngomong apa?" tanya Ali.

Setelah beberapa menit, tiba-tiba terdapat pergerakan pada Nina. Jari-jemarinya mulai bergerak dengan kedua mata mulai berkerut. Ali yang menyadari pergerakan Nina pun langsung menepuk-nepuk punggung Raka dengan antusias.

"Mas-mas, Nina bangun Mas!"

Perlahan Nina membuka kedua matanya dan berusaha membiasakan cahaya yang masuk ke netranya. Setelah pandangan mulai normal, ia melirik ke sekelilingnya. Ia meringis pelan kala merasakan nyeri pada kepalanya.

"Aduh, laper. Pengen lontong sayur ...," gumamnya lirih sembari mengusap perutnya yang terasa lapar.

"Ngapa pada ngeliatin?" tanya Nina dengan polosnya.

Ketiga teman Nina yang senang akan kesadaran Nina pun langsung menghamburkan tubuh mereka memeluk Nina. Nina sontak meringis kala luka pada tangannya tak sengaja tersenggol.

"Aw, sakit!"

Mereka pun langsung bergegas bangkit dan meminta maaf. "Akhirnya kamu bangun juga," ujar Rita dengan senang. Perasaannya lega begitu Nina siuman.

"Lagian kenapa si begal segala dikejar, isi tasnya emang apaan?" tanya Ali.

Nina meringis pelan lalu menggerakkan kakinya untuk menendang Ali. "Mas Ali nggak tau apa-apa ya, album Nct aku yang baru ada di dalem tas!"

Nina beralih melihat ke samping kanannya. Ia terkejut sejenak melihat keberadaan Raka yang sedari tadi memperhatikannya. "MasyaAllah, ada orang ganteng."

"Gimana keadaan kamu?" tanya Raka. Wajahnya tetap datar, tetapi jauh di lubuk hatinya ia merasa senang karena Nina sudah sadar.

"Aduh pusing, Mas. Sakitnya tuh di sini," sahut Nina sambil meletakkan tangannya di dada sebelah kiri.

"Yang sakit bukannya kepala, Nin?" tanya Ali.

"Sakitnya tuh di sini, soalnya Mas Raka mau kawin sama Mbak Hanin."

Raka mengerutkan keningnya. "Ah, itu—"

"Cukup, Mas! Aku belum siap mendengarkan jawabanmu," potongnya dengan nada dramatis.

Qory lantas langsung menjitak kepala Nina hingga membuat mereka terkejut dengan aksi Qory. Sedangkan yang dijitak langsung meringis kesakitan.

"Sakit, Qory!"

"Lagian baru sadar bukannya nanyain kamu di mana malah pengen lontong sayur," ujar Qory.

"Aku dah tau bakal di rumah sakit, lagian laper euy belom makan."

Raka menggelengkan kepalanya jengah dengan tingkah Nina. Namun, ia merasa senang bisa melihat tawa gadis itu.

"Mas, tanganku sakit ...," rengeknya pada Raka dengan nada manja.

"Saya tau," sahut Raka singkat.

Nina mengerucutkan bibirnya. "Ish, dah lah pingsan lagi."

Ukhti Bar-Bar [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang