037

20K 2.8K 271
                                    

"Mas?"

"Ih, Mas Ali ngagetin aja," ujar Qory.

Ali terkekeh pelan. "Hayo, gibahin Mas Raka ya?"

"Gak cuman lagi gibahin, ini mah dikit lagi nyantet," sahut Nina ketus.

"Gue abis dari kamar Raka, loh. Lo mau tau sesuatu, gak?" tanya Ali.

"Apaan? Penting gak? Kalo gak penting mending gak usah," ujar Qory.

"Bagi Nina mungkin ini penting."

Ali mengambil kursi plastik yang biasa digunakan untuk menunggu lalu ia dudukkan tubuhnya di sana.

"Yaudah buruan cerita," titah Nina tak sabar.

Ali terkekeh pelan. "Ceban dulu baru gue cerita," ujar Ali seraya menyodorkan tangannya, persis seperti hal serupa yang ia lakukan pada Raka.

"Najis mata duitan, nyoh dua puluh rebu aku jabanin," ujar Nina sembari mengeluarkan uang dia puluh ribuan dari saku roknya.

Ali menerima uang tersebut dengan senang hati. "Nah, begini 'kan obrolan bisa berlangsung dengan nyaman."

"Udah buruan cerita, bentar lagi Isya."

"Lo siapin mental aja, Nin, kayaknya Mas Raka mulai tertarik sama lo---aduh!" Ali meringis kala kakinya ditendang oleh Nina.

"Ngomong yang bener jangan ngang ngong ngang ngong aja. Hoax, 'kan?" tuding Nina dengan tatapan tak percaya.

"Buset dah kapan gue bohong? Gue deket sama Mas Raka dari jaman gue masih ngerangkak tapi dia dah bisa lari, hafal gue ama dia mah," sahut Ali.

Qory menepuk paha Nina pelan. "Jangan gampang terperdaya, bisa aja Mas Raka cuman ngerasa bersalah karena udah ngomong kasar sama kamu," ujarnya.

Nina mengangguk paham. "Balikin duit aku, mau beli roti bakar nih," pinta Nina pada Ali.

"Heh, mana ada barang dah dikasih diminta lagi!"

"Allahuakbar Allahuakbar!"

"Dah Isya, gue pergi dulu, bye! Inget, Mas Raka bukan orang yang sejahat itu, dia baik cuman sering buat salah paham doang."

Setelah berucap demikian, Ali langsung bangkit dari duduknya dan pergi menuju masjid. Selang beberapa waktu keduanya melihat Raka tengah berjalan dari rumahnya menuju masjid.

"Fabiayyi ala irobbikuma tukadziban ..," gumam Nina begitu melihat Raka tengah memasang peci hitamnya guna menutupi sebagian rambutnya yang basah setelah berwudhu.

Qory yang melihatnya pun langsung menyadarkan Nina dengan cara menutup kedua mata menggunakan tangannya. "Heh, gak boleh zina mata!"

"Oh iya, lupa. Zina 'kan gak cuman ngen doang," ujar Nina.

***

Keesokan harinya, tepat pada hari Ahad, santriwan dan santriwati tengah melakukan agenda senam pagi bersama. Dengan barisan putra di depan dan barisan putri di belakang. Riuh semangat dan lagu senam modern yang menambah keramaian pondok.

"Nikmat banget bisa liat santri putra keringetan begitu," ujar Nina dengan pandangan terfokus pada barisan putra.

"Astaghfirullahal'adzim, jaga pandanganmu ukhti!" tegur Rita.

"Hehehehehe."

Selang beberapa menit, barisan dibubarkan setelah selesai bersenam. Beberapa santri putra memilih untuk tidak langsung mandi melainkan bermain sepak bola dan juga bermain voli. Sedangkan santri putri memilih untuk berbincang ringan di ujung lapangan dan ada juga yang langsung mengantre untuk mandi.

Ukhti Bar-Bar [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang