032

19.1K 2.6K 426
                                    

Selama hampir dua Minggu menjalani liburan akhir tahun, akhirnya para santri mulai kembali ke pondok. Nina yang pada dasarnya masih agak ngambek dengan orangtuanya pun memilih untuk kembali ke pondok lebih cepat agar tidak melihat perut ibunya. Nina senang bisa kembali ke pondok, namun sayangnya baru ada dia dan Luna yang datang ke kamar. Qory, Ayu, dan Rita akan kembali lusa bersamaan dengan tanggal masuk sekolah.

"Nina, bisa tukeran bantal nggak?" tanya Luna tiba-tiba sembari menyerahkan bantal berwarna abu-abu.

Nina melempar bantal tersebut ke atas karpet lalu menatap jengkel Luna. "Ck, itukan bantal kamu ngapain tukeran segala si? Ini bantal baru tau," ujarnya sembari memeluk bantalnya yang sengaja ia beli kala hendak kembali ke pondok.

"Bantalnya bau aku nggak suka," sahut Luna.

Nina merotasikan matanya jengah. "Ya dicuci kek dikasi pewangi kek, otak dipake jangan cuman buat pelengkap sebagai manusia aja."

"Ck, biasa aja kali."

Nina menjulurkan lidahnya mengejek Luna lalu bangkit dari kasurnya hendak keluar kamar. Ia ingin berjumpa dengan Raka sebagai penyemangat nya di tahun baru kali ini. Nina sebentar lagi kelas dua belas, hanya menunggu beberapa bulan lagi, jadi ia harus memastikan Raka cepat menyukainya sebelum ia keluar pondok.

"Nahkan, kalo udah jodoh tuh ya pasti ketemu."

Raka baru saja keluar dari ruangan pengurus keamanan yang letaknya tak jauh dari ndalem. Penampilan Raka sudah rapi dengan jas hitam dan peci. sepertinya laki-laki itu ingin pergi melihat kacamata di tangan serta sepatu pantofel hitam di kakinya.

"Assalamualaikum, Mas Raka."

Raka menghentikan langkahnya lalu menatap Nina. "Wa'alaikumsalam."

"Mau ke mana, Mas?" tanya Nina.

"Bukan urusanmu," sahutnya ketus.

"Cih, bentar lagi 'kan kita bakal berbagi urusan, aku ngurus Mas Raka, Mas Raka nyari nafkah buat keluarga kita, aduh pak cepak cepak jeder pokoknya mah."

Raka memutarkan bola matanya mendengar ucapan Nina yang begitu bersemangat dengan skenario halunya.

"Mimpi."

"Cih, gitu banget si tanggepannya. Mas Raka ayo dong suka sama aku, dikira nggak capek suka secara sepihak?"

"Apa untungnya saya suka sama kamu?" tanya Raka.

"Saya kaya," sahut Nina.

"Saya juga."

"Em, bener juga. Saya cantik," ujar Nina.

"Cantikan Qory."

"Ish, gitu si. Saya baik."

"Mana ada orang baik mengaku baik, saya mau pergi." Setelah berucap demikian, Raka langsung memalingkan wajahnya tapi langsung dicegah oleh Nina. Nina langsung menghadang jalan Raka sembari merentangkan kedua tangannya.

"Mas, emang tipe Mas Raka yang kaya gimana, si?"

"Saya suka wanita pintar dan sopan, dan itu semua tidak ada dalam diri kamu, jadi kamu sudahi menyukai saya."

Nina agak terhenyak mendengar ucapan Raka yang kelewat pedas, baginya. Ucapannya terlontar dengan jelas seakan benar-benar tertuju pada Nina bukan sekadar penolakan, tetapi penegasan untuknya mundur.

"Hahaha, kemarin Mas Raka bilang jangan waktu aku mau nyari cowo lain," ujar Nina dengan kekehan ringan.

"Apa dengan balasan sederhana seperti itu kamu berasumsi bahwa saya suka kamu? Jika pesan singkat saja kamu langsung mudah jatuh, apa itu tidak lebih dari murahan? Ali berkali-kali meyakinkan saya bahwa kemungkinan saya suka sama kamu, tapi sepertinya dia salah, saya tidak suka sama kamu, Nina."

"Mas, jahat banget ngomongnya," ujar Nina. Suaranya mulai bergetar, dadanya terasa sesak dan juga mata yang mulai berkaca-kaca. Nina mendongakkan kepalanya sejenak lalu kembali menatap lekat manik mata Raka.

"Saya hanya mencoba menyadarkan kamu, menyatakan cinta memang tidak ada larangan, tapi jika kamu sampai bertingkah seakan tidak ada harga diri seperti ini, maaf saya menolak kamu dengan tegas."

Setelah berucap demikian, Raka langsung melenggang pergi. Nina terdiam di tempatnya, air matanya mulai mengalir. Ia memegangi dadanya yang terasa sesak, ucapan Raka masih terngiang-ngiang di kepalanya.

"Bukan jawaban kaya gitu yang aku mau, Mas."

Raka memejamkan matanya erat begitu masuk ke dalam mobil. Memori saat ia menolak Nina berputar-putar di kepalanya. Ia memukul kepalanya pelan berkali-kali lalu menghembuskan napas kasar.

"Ya Allah, gue kasar banget ya?"

Pintu mobil tiba-tiba terbuka dan menampilkan sosok Ali dengan jas hitam rapi serta peci yang berwarna sama dengan Raka.

"Ngapa Mas mukanya gitu amat?" tanya Ali sembari memasang sabuk pengaman.

"Bukan apa-apa," sahut Raka seraya merubah raut wajahnya kemudian ia nyalakan mesin mobilnya.

"Gue tadi liat Nina nangis sambil lari, kenapa ya?"

Raka tertegun dengan ucapan Ali. Membayangkan Nina menangis membuatnya merasa bersalah. Suasana hatinya tengah buruk saat ini, Raka yang biasa akan diam jika marah seketika mengeluarkan ucapan tak mengenakkan pada Nina. Ali melihat perubahan ekspresi Raka pun menepuk bahu Raka.

"Mas, lo oke? Kalo sakit kita perginya kapan-kapan aja," ujar Ali.

Raka menggelengkan kepalanya pelan. "Kita berangkat."

***

Di sinilah Nina berada. Toilet putri yang sepi dan sunyi, hanya ada suara tangis darinya dan juga suara keran yang mengeluarkan air secara deras guna mengalihkan suara tangisnya agar tidak dapat didengar orang lain.

"Jancok, Mas Raka jancok!"

"Astaghfirullah nggak boleh ngomong kasar." Nina menepuk mulutnya pelan setelah berkata kasar hingga kemudian ia menepuk mulutnya lagi.

"Ya Allah, nggak boleh ngomong astaghfirullah di toilet."

"Eh, astag--- auk ah bete."

Nina kembali melanjutkan aktivitas menangisnya lalu mengusap ingus yang mengalir dari hidungnya. Ia mengeluarkan cermin berukuran kecil dari saku bajunya lalu melihat kondisi wajahnya yang sembap dan memerah.

"Nggak boleh nangis, Mas Raka lagi ngeprank."

"Huwaaaa, Bapak! Anakmu ditolak!"

"Liat aja nanti, jangan harap Mas Raka bakal dapetin aku lagi!"

"Masalahnya Mas Raka emang bakal suka sama aku?"

Nina menepuk dahinya lalu membasuh wajahnya secara kasar hingga membuat percikan air mengenai kerudungnya.

Lelah terus berbicara sendiri, Nina pun menyudahi aktivitas galaunya dan ingin kembali ke kamarnya untuk tidur. Kali ini ia ingin bolos mengaji sebentar.

***

Mutualan ig, yuk?

Ukhti Bar-Bar [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang