014

20.8K 2.8K 66
                                    

"Hallo, Mas Raka."

Raka menolehkan wajahnya begitu mendengar sapaan dari gadis yang akhir-akhir ini kerap menyapanya. Nina, gadis itu tengah berjalan beriringan bersama ketiga temannya menuju masjid kala adzan Maghrib mulai berkumandang. Raka yang tengah menaiki serambi bahkan bisa melihat gadis itu tengah tersenyum manis ke arahnya tetapi Raka abaikan.

"Cih, cuek banget ew. Aku pelet baru tau rasa," gerutu Nina kesal setelah diabaikan oleh Raka.

"Hih, mainnya pelet. Nggak bakal manjur lah, secara Mas Raka kuat imannya," ujar Qory.

"Manjur kok, insyaallah. Soalnya aku peletnya lewat sepertiga malam. Angjay, tetew."

Ketiga teman Nina pun tak bisa menahan tawanya. "Kamu bangun subuh aja perlu disiram dulu gegayaan pelet lewat sepertiga malam," ujar Rita.

"Berisik deh kalian, aku mau sholat magrib dulu yaw. Safnya paling depan biar sampingan sama ibu mertua." Setelah berucap demikian, Nina langsung mempercepat langkahnya agar mendapatkan bagian saf salat paling depan. Pasalnya, Bu Nyai selalu menempatkan diri di saf terdepan juga.

"Assalamu'alaikum, Bu," sapa Nina dengan sopan. Bersikap sopan dengan calon ibu mertua adalah tips manjur demi mendapatkan lampu hijau.

"Wa'alaikumsalam, Nina. Bagaimana kakinya? Masih sakit?" tanya Bu Nyai.

Nina terkekeh kecil lalu menggelengkan kepalanya. "Enggak sakit kok, Bu. Saya 'kan udah biasa manjat. Jatuh dari tebing aja saya kuat," guraunya.

Bu Nyai bahkan ikut tertawa pelan lalu bangkit dari duduknya kala Muazin telah mengumandangkan iqamah yang tandanya salat berjamaah akan segera dimulai. Nina merapikan tatanan mukenah-nya agar tidak ada satu helai rambut pun yang keluar.

"Tuh liat si Nina. Lancar banget modus sama Bu Nyai," ujar Qory seraya menunjuk Nina yang berada jauh dari barisan mereka.

"Biarin lah, sapa tau gara-gara demen sama Mas Raka dia jadi tobat," sahut Ayu dan diangguki kepala setuju oleh Rita.

***

Seperti biasa, selepas salat Magrib akan ada materi agama yang akan disampaikan oleh guru atau ustadz yang bertanggung jawab. Tetapi, Nina tetap saja Nina. Bukannya mendengar materi, gadis itu justru tertidur dengan tangan kanan sebagai penopang wajah agar wajahnya tidak menghantam meja.

"Jatuh cinta kepada lawan jenis adalah fitrah manusia yang diberikan Allah SWT. Begitu juga dengan perasaan ingin memiliki si doi," ujar sang ustadz sebagai awalan materi.

Banyak kaum remaja yang menyukai materi ini, maka dari itu banyak wajah segar memperhatikan materi. Namun, tidak dengan Nina.

"Maka dari itu dua orang saling jatuh cinta, akan ada keputusan untuk membangun hubungan. Betul apa betul? Mas? Mbak?"

"BETUL!" sahut para santri dengan serempak.

"Kalau dalam islam menjalin hubungan sebagai tanda pengikat itu bagus, contohnya menikah. Tetapi ada hubungan di luar nikah, apa itu? Pacaran!" ujar ustadz yang biasa dipanggil ustadz Hakim. Usianya terbilang masih muda karena laki-laki itu baru saja lulus S1 di universitas Kairo.

"Apakah pacaran diperbolehkan dalam islam?"

"Tidak!"
"Boleh!"

Ada dua jenis tanggapan dari para santri. Ada tim pro dan kontra. Ustadz Hakim tersenyum hingga menampilkan lesung pipinya. Nina yang merasa terganggu dengan seruan para santri pun terpaksa membuka matanya, dan ia langsung terpesona dengan senyuman ustadz Hakim.

"Ya Allah, ganteng banget ...," gumam Nina lirih.

"Jawabannya tidak boleh ya, adik-adik. Bahkan Allah pernah bersabda, "Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk," bunyi Firman Allah SWT dalam Surat al-Isra’ ayat 32," ujar ustadz Hakim.

"Ada yang hafal ayatnya?" tanyanya.

Nina melirik ke sekelilingnya untuk tahu siapa yang akan mengangkat tangannya. Dan ia terkejut kala Qory mengangkat tangannya.

"Saya ustadz!" seru Qory hingga menarik perhatian orang. Beruntungnya ada pembatas antara barisan santri putri dan santri putra agar tidak ada saling pandang antara mereka selama mengaji.

"Iya, kamu? Siapa namanya?" tanya ustadz Hakim.

"Qory, tad."

"Coba bacakan, Mbak Qory."

"Bismillahirrahmanirrahim, Wa laa taqrabuz-zinā innahụ kāna fāḥisyah, wa sā'a sabīlā."

وَلَا تَقْرَبُوا۟ ٱلزِّنَىٰٓ ۖ إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَةً وَسَآءَ سَبِيلًا

Untuk ayat lebih jelasnya.

"Yap, betul. Barang siapa yang mau menghindari sesuatu perkara zina, maka Allah akan hindarkan kejahatan dan keburukan darinya," ujar ustadz Hakim.

"Gila, aku keren banget. Udah cocok banget dah nikah sama ustadz Hakim," ujar Qory pada Nina yang sedari tadi memperhatikannya.

"Iye-iye, Mbak."

***

Kini saatnya masuk jam makan malam. Nina sangat antusias jika dipinta untuk makan. Selama mengaji ia terus-menerus mengantuk, tapi ketika kegiatan ngaji itu berakhir, Nina langsung bugar kembali begitu ingat bahwa agenda selanjutnya adalah makan.

"Menunya hari ini apa?" tanya Nina.

"Paling orek tempe sama sop," sahut Rita yang kepalang hafal dengan menu setiap harinya.

"Yaah, masa orek lagi."

Ayu meletakkan jari telunjuknya ke arah bibir Nina. "Ssst. Nggak boleh ngeluh, Alhamdulillah masih dikasih makan."

Setelah mendapatkan jatah makanannya, Nina pun langsung berlari menuju meja yang biasa mereka tempati.

"Tau, nggak? Empat hari lagi 'kan Gus kita bakal ulang taun," ujar Qory di tengah-tengah aktivitas makan.

Nina yang mendengar nama 'Gus' pun langsung menoleh ke arah Qory. "Siapa-siapa? Gus Raka atau Gus Iki?" tanya Nina.

"Buset, semangat amat Bu?"

"Gus Raka bentar lagi ulang tahun. Tanggal 17 November," ujar Qory.

"Dia umur berapa si?" tanya Nina.

"Gimana si ni anak, masa doi sendiri nggak tau? Dia sekarang umur dua puluh dua tahun, semester akhir dan bentar lagi wisuda," sahut Rita.

Nina menggaruk kepalanya yang tak gatal lalu tersenyum kikuk. "Mas Raka keliatan kaya pengangguran si, nggak kaya mahasiswa."

"Kurang ajar."

Ukhti Bar-Bar [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang