"Balasan cinta itu hanya perihal waktu. Selama kita sabar, jawaban pasti akan kita dapatkan. Entah itu saling mencintai atau saling tak mengenali."
_______________________"Haduh, sakit!" Naula berdiri di ambang pintu kamar Dante, ia terus meringis keras. Namun, pria itu tak juga memperlihatkan batang hidungnya. Gadis itu tak tahu lagi harus berbuat apa. Setelah hampir satu jam mondar-mandir di ruangan itu, akhirnya ia pun memilih pergi karena sakit giginya tak bisa lagi ditahan.
Gadis berusia 17 tahun itu duduk di sofa ruang tamu. Ia menutup wajahnya dengan telapak tangan. Keringat dingin telah mengalir, membasahi leher kaos abu-abu yang dikenakan.
Beberapa menit berlalu, ia kembali melepaskan tangan dari wajah. Ia meringis kecil dan menarik napas dalam-dalam.
Naula mengambil tas kecil yang diletakkan di atas meja ruang tamu, tadinya ia berharap Dante mau mengantarkan atau sekadar memberikan obat pada giginya. Gadis itu berjalan keluar sambil menyeka air mata yang menetes. Sekali lagi, ia menoleh ke belakang. Berharap ada keajaiban tiba-tiba Dante berlari padanya.
Hah! Mustahil! Naula tersenyum miris. Biasanya ia tak terlalu kecewa pada sikap Dante, tetapi malam ini giginya benar-benar sakit.
"Sakit." Ia terisak pelan, tubuhnya bahkan sudah bergetar hebat. "Ma." Kepala Naula terasa berat, ia tak bisa lagi menahan. Pandangannya memburam seiringan dengan bayangan seseorang mendekatinya.
Tanpa kata-kata pria itu langsung menggendong Naula kembali ke rumah. Gadis itu sedikit berontak saat ia membuka mata, tetapi ia tak punya tenaga. Tubuhnya diletakkan di atas sofa, pria itu mengambil telepon rumah dan menghubungi seseorang.
Naula sempat mendengar pembicaraan mereka, dokter akan segera datang. Naula memejamkan mata, ia bisa merasakan embusan angin malam dari pintu depan yang terbuka. Tangan gadis itu masih ditumpukan pada dagu kanan, air matanya tak lagi mengalir.
"Dokter akan datang." Naula sangat kenal suara itu. Siapa lagi kalau bukan Dante, hanya ada mereka berdua di rumah itu.
Naula adalah putri tunggal Pak Mahameru, pebisnis terkaya di kota itu sejak beberapa tahun terakhir. Sang papa kerap kali melakukan bisnis di luar negeri. Mama Naula sudah meninggal sejak dua tahun lalu, ia hanya tinggal bersama Bi Araya-pembantu rumah tangga dan Dante, bodyguardnya.
Tak lama kemudian, Dante beranjak dari samping Naula. Terdengar ia berbincang dengan seseorang di teras, Naula bisa merasakan yang datang adalah dokter panggilan Dante.
"Nona." Suara Dante terdengar lembut. Naula membuka mata perlahan, tatapannya langsung pada mata Dante.
"Saya periksa dulu, ya, Non." Dokter itu mulai memberikan perintah agar Naula menyandarkan badan dan membuka mulut.
Gadis itu tak menyahut, langsung melakukannya.
Beberapa menit berlalu, dokter pun selesai memeriksa. Ia berbicara pada Dante, agak jauh dari Naula. Gadis itu tak lagi bersuara, memilih diam sampai Dante kembali ke dekatnya. Ia melirik ke depan, dokter sudah pergi.
"Besok-besok jangan makan cokelat lagi!" Dante menyodorkan obatnya.
Naula tersenyum aneh. "Emangnya Om peduli apa!?"
Dante tak berekspresi. Ia memilih bangkit dan meninggalkan Naula sendirian.
Naula menatap obat yang telah diresep dokter dan melemparkannya ke lantai. Nyeri di gigi tak lagi ia pedulikan, kini hatinya lebih nyeri. Salah kah ia berharap lebih? Salah kah ia berharap pria itu memberikan perhatian padanya? Ia menghempaskan badan ke sofa dan membuang napas kasar.
***
Di dapur, Dante mencampur air panas dengan air dingin ke dalam ceret dan menaruhnya di atas nampan beserta satu gelas bening. Ia berjalan dengan tegap ke ruang tamu dan melihat gadis yang dijaganya melemparkan obat di lantai. Pria itu terdiam sesaat sebelum kemudian meletakkan gelas itu di meja dan mengambil obat dari lantai. Tak lupa juga, ia menuangkan air ke gelas.
"Minumlah!"
Naula membuka mata sedikit dan kembali menutupnya saat melihat Dante.
"Nona Naula, minumlah! Besok Anda harus sekolah," ulang Dante mencoba tetap sabar.
Naula menggelengkan kepala. "Naula udah sembuh, pergi aja sana!"
Dante tak memedulikan ucapan gadis itu, ia menggeser nampan agar lebih dekat dengan Naula.
"Naula nggak mau minum obat! Biar aja Naula mati, biar Om senang! Gak lagi repot ngurusin Naula, bisa ketemu sama cewek mana pun, bisa kencan dengan siapa pun! Abis itu bisa juga nikmatin harta keluarga Nau-"
"Naula!" pekik Dante. Ia mengepalkan tangan, dari tadi ia telah mencoba sabar. Darahnya mendidih mendengar kata demi kata yang dilontarkan gadis itu.
Naula sontak terdiam, tubuhnya bergetar melihat kepalan tangan Dante. Tangannya bergerak mengambil minum dan obat dari atas meja, menelannya satu persatu. Setelah selesai, gadis itu beranjak dan berlari ke kamarnya. Dante tak bereaksi, tetap diam di tempatnya berdiri tadi.
Pria itu sendiri kadang tak paham dengan dirinya. Setiap kali ia melihat Naula sakit, ia kesal dan ingin marah. Ia tak suka, tetapi gadis itu selalu saja melakukan dan mengatakan hal-hal yang tak berguna.
"Sial!" Dante menendang meja ruang tamu. Ia membuang napas kasar dan menghempaskan diri di sofa. Kejadian tadi masih membuatnya merasa bersalah, sekarang tambah lagi dengan pekikannya yang membuat Naula takut.
Bukan tak peduli, tetapi ia hanya berpegang pada prinsip diri. Tugasnya untuk melindungi, bukan mengobati apalagi memberikan perhatian pribadi. Entahlah, Dante tak paham dengan situasi kini. Ia seolah dipermainkan oleh keadaan.
"Kamu hanya perlu menjaga putri saya, ingat hanya menjaga bukan menyentuhnya."
Kalimat Pak Maheru terngiang-ngiang di telinganya. Pria tiga puluh tahun itu memejamkan mata, menetralkan rasa yang menggema. Ia telah berjanji tak akan pernah menyentuh, apalagi jatuh hati pada gadis itu. Lalu apa ini? Bukan kali pertama ia bekerja jadi bodyguard. Namun, baru kali bertemu majikan yang membuatnya setres dan tak karuan.
Saat itu pula, telepon rumah berdering. Dante segera bangkit dan menjawab panggilan. Dokter yang tadi menangani Naula memberitahukan Dante beberapa pantangan, makanan dan minuman yang tak boleh dikonsumsi. Dante hanya menyimak satu persatu.
Setelah dokter itu menjelaskan segalanya, Dante pun memutuskan panggilan. Ia berjalan tegap, derap kakinya terdengar karena ia mengenakan sepatu boots. Sesampainya di depan pintu Naula, diketuk pelan. "Nona?"
Tak ada sahutan membuat Dante berhenti bersuara. Ia berpikir gadis itu pasti telah tidur karena pengaruh obat yang tadi diminum. Dengan begitu, pria itu bisa lebih sedikit lega. Dante pun memilih berdiri di depan pintu, menjaga. Setiap malam itu yang selalu dilakukan. Tentunya tanpa sepengetahuan Naula. Gadis itu hanya tahu Dante menjaga dan mengawasi kala ia sekolah ataupun keluar rumah.
"Kamu tidak boleh jatuh cinta padaku! Jangan pernah!" Dante berucap pelan, sekejap dipejamkan matanya. Ia menarik napas dan membuangnya.
💢💢💢
To be continue ...
Happy reading ...
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVE BODYGUARD (END)
RomanceNaula Syakira, gadis kaya dan polos yang jatuh hati pada Dante, bodyguard yang ditugaskan sang papa untuk menjaganya. Ia tak peduli pada usia pria itu yang telah mencapai kepala tiga. Dengan terang-terangan ia mengejar cinta dan memamerkan pada tema...