39. 💢 Saksi

1.1K 35 0
                                    

Pemakaman jasad Pak Maheru berjalan lancar. Tak banyak orang yang menghadiri acara tersebut, hanya ada beberapa teman dekat dan juga pihak kepolisian. Naula masih memeluk lutut di depan makam sang papa, air matanya masih menetes satu persatu.

Dante ikut berjongkok di samping gadis itu. Di belakang mereka ada Dikta dan Zeni yang juga ikut. Tak lupa pula Bu Warsati yang berdiri menatap keadaan Naula yang tak karuan. Gadis itu sangat kacau luar dalam.

Dante duduk di samping Naula tanpa bersuara. Ia tahu, gadis itu tak butuh kata-kata penyemangat di saat seperti itu. Ia hanya butuh seseorang yang menjadi tempatnya bersandar dan berlindung.

Gerimis mulai datang, Dante mengembangkan telapak tangan agar bisa melindungi Naula. "Ayo, kita pergi." Dante membantu Naula berdiri. Gadis itu juga tak berontak lagi seperti pertama kali. Keduanya berjalan biasa saja ketika yang lain berlari ke dalam mobil.

Dante menutup pintu mobil dan menghidupkan mesin. Di sampingnya ada Naula yang menatap kosong ke arah depan.  Dante membuang napas berat dan mulai melajukan mobilnya untuk pulang ke rumah mereka.

Sesampainya di rumah di rumah Dante, suasana masih sunyi seperti baru berangkat tadi. Zeni dan Dikta juga ikut ke rumah itu untuk menghibur dan menemani Naula. Namun, baru saja mereka turun Naula langsung menyuruh pulang.

"Kalian pulang aja." Gadis itu menatap Dante. "Om, tolong antarkan mereka." Lalu ia masuk ke rumah diikuti oleh Bu Warsati.

Dikta dan Zeni saling berpandangan, sedangkan Dante menghela napas panjang. Pria itu kembali masuk ke mobil dan meminta mereka segera naik dan diantar pulang.

Setelah kepergian mereka, Naula menjatuhkan diri di lantai. Air matanya kembali mengalir deras, ia tak bisa membayangkan bagaimana hidupnya di masa depan tanpa ada satu pun orang tua. Ia memikirkan jika dirinyalah orang paling malang di dunia ini.

"Naula." Bu Warsati ikut berjongkok di samping Naula. Wanita itu memeluk gadis itu dan mengusap bahunya dengan lembut. Ia juga ikut merasakan betapa sakitnya di posisi Naula saat ini. Tak ada yang bisa dilakukan selain berada di sisinya dan menguatkan setiap saat.

"Jangan sedih, papa kamu juga pasti nggak bahagia kalau kamu nangis terus."

Naula menyeka sudut matanya dan memeluk Bu Warsati erat.

"Jangan tinggalkan Nau, ya, Bu." Gadis itu menenggelamkan wajahnya di dada Bu Warsati.

Wanita itu tersenyum manis dan menganggukkan kepala. "Ibu nggak akan pernah meninggalkan kamu."

***
Dante telah mengantarkan Zeni dan Dikta kembali ke rumah mereka masing-masing. Dante bersiap akan kembali ke rumah. Namun, detektif yang disewa menelepon dan memberitahukan jika ia memiliki bukti yang kuat atas meninggalnya Pak Maheru.

Dante segera memutar mobil dan melaju kencang ke arah kantor polisi karena mereka sudah berkumpul. Hati Dante senang karena setidaknya ia bisa melakukan sesuatu yang membuat sedikit beban Naula berkurang.

Sesampainya di tempat, ia langsung menemui orang-orang yang bersangkutan. Dante menatap beberapa benda yang telah dibungkus plastik bening.

"Ini?" Dante menunjuk ke arah plastik yang berisi sandal jepit berwarna hitam.

"Ini kami temukan di jalan menuju TKP." .

Dante menganggukkan kepalanya..

"Kami juga punya saksi yang kuat, yang melihat kejadian itu. Namun, sayang sekali dia sedang dirawat di rumah sakit saat ini."

"Apa?" Dante tercengang. "Benar-benar ada saksi? Berarti ...." Dante menghela napas lega. "Siapa saksinya, Pak?"

Pak polisi menyodorkan sebuah foto wanita yang tengah berada di brankas. Seluruh wajahnya diperban. Dante mengerutkan dahi, ia tak dapat mengenali orang tersebut.

"Saya tidak kenal." Ia mengembalikan foto itu pada Pak polisi.

"Tapi dia kenal dekat dengan korban. Kami mendapat pengakuan itu dari suami saksi."

"Apa saya bisa bertemu dengan suaminya? Saya ingin tahu siapa yang jadi saksi itu. Kalau dia kenal dekat dengan keluarga korban, artinya dia juga kenal saya." Dante tak akan menyia-nyiakan kesempatan itu untuk bertemu dengan siapa pun yang berkaitan dengan kasus Pak Maheru.

Dante akhirnya diizinkan ke rumah sakit, tetapi tetap diawasi oleh pihak polisi. Di depan ruangan tersebut juga ada salah satu polisi yang menjaga keamanan. Aslinya Dante tak tahu apa tujuan mereka, ia hanya maklum karena ada saksi di dalam sana.

Dante membuka pintu, seorang pria yang tengah duduk di kursi samping brankar tersentak dan langsung berdiri. Pria itu tampak takut melihat Dante yang berbadan tegap.

"Ee ... saya Dante, saya-" Ucapan Dante terpotong ketika pria tadi malah tersenyum kegirangan.

"Kamu kah orangnya?" Air mata pria itu menetes berbarengan dengan senyuman di bibirnya. "Saya sudah lama mencari kamu."

Dante kebingungan. "Apa bapak kenal saya?"

Pria itu menggelengkan kepalanya. "Saya tidak, tapi istri saya pasti mengenal kamu."

Dante ikut menoleh ketika pria itu menunjuk wanita yang ada di brankar. Dante berjalan perlahan untuk melihat siapa yang terbaring itu. Tatapan Dante berubah nanar, cairan bening mengalir ke pipinya karena terharu. Itu benar-benar Bi Araya, wanita yang selalu membantunya sejak dulu. Namun, beberapa waktu belakangan mereka hilang komunikasi karena banyak hal yang menimpa keluarga Naula.

"Bi-Bi Ayara." Suara Dante tergagap. Pria itu menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Ia menangis di sana. Jarang sekali ia mengeluarkan air mata, tetapi kali ini benar-benar terasa berbeda.

"Saya suami Araya. Beberapa waktu lalu dia ingin berkunjung ke rumah kalian, ia sangat merindukan Non Naula. Tapi di jalan ia bertemu dengan orang-orang yang menyakiti majikannya. Istri saya benar-benar berani, tapi dia ketahuan dan diserang." Pria itu mengusap wajahnya dengan kasar. Air mata tak lagi bisa dibendung. "Untungnya saya memasang GPS di ponselnya, jadi saya bisa mencari karena dia tak pulang-pulang."

"Maaf." Dante berjongkok di samping brankar. Ia menatap wajah yang penuh dengan perban putih itu. "Cepat sembuh, Bi. Naula akan semakin hancur kalau tahu bibi kayak gini. Dia akan sangat sedih, jadi segeralah bangun dan temui dia. Dia butuh bibi di sisinya."

"Mas Dante," panggil Roni, suami Bi Araya.

Dante menoleh dan melihat pria itu. Roni mengambil tas hitam kecil yang terletak di atas meja. Ia mengeluarkan sebuah ponsel berwarna merah muda.

"Istri saya minta ini diberikan pada kamu, Mas." Roni menyodorkan benda itu pada Dante.

Dante menerima benda itu dan menatapnya lama.

"Mungkin di sana ada bukti kuat yang akan membantu menyelesaikan kasus ini." Roni berucap dengan yakin.

Dante menghidupkan ponsel itu. Ia mencari daftar video. Mata lelaki itu melebar ketika melihat dan mendengar rencana pembunuhan itu berasal dari seorang wanita yang selama ini telah dihindari. Dante mengusap wajahnya kasar.

"Wanita ini ...!" Dante meremas tangannya.

Dante membuka video lain. Ternyata Bi Araya mengikuti orang suruhan itu, sehingga ia bisa merekam banyak kejadian dan pembicaraan mereka. Dante bergegas menyimpan ponsel itu ke dalam saku celananya.

"Saya harus pergi sekarang." Dante pamitan dan keluar dari ruangan itu. Di depan masih ada polisi yang menjaga. Dante mengeluarkan ponsel miliknya dan menghubungi pihak polisi, mengatakan jika ia punya bukti yang lebih kuat dari sebelumnya.

"Kamu tidak akan bisa selamat, Ina." Dante menahan gejolak amarah yang membara di dadanya. Ia tak sabar menunggu wanita itu hancur seperti yang telah dilakukan pada orang lain.

LOVE BODYGUARD (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang