Jangan biarkan orang yang menyakiti terus ada di sampingmu. Hidupmu berarti, lebih baik bersama orang yang bisa menghargaimu.
***
Naula berjalan memasuki rumah dengan perasaan senang, ia bahagia karena hari ini mendapatkan apa yang diinginkan. Ia dijemput dan ditemani Dante berbelanja ke Mall. Ia juga dibelikan sebuah tas idaman oleh lelaki itu. Saat membuka pintu senyuman gadis itu memudar dan berubah masam. Ia sengaja menapakkan sepatu lebih keras agar mengganggu dua orang yang tengah bermesraan di sofa.
"Apa, sih, berisik banget," komentar Ina sambil menatap Naula kesal, sedangkan pria yang di sampingnya menepuk bahunya agar tetap tenang.
"Mas ...," rengek Ina pada suaminya.
Pak Maheru menganggukkan kepala dan mendeham. Naula yang paham gelagat itu langsung pura-pura bernyanyi dan menaiki tangga dengan cepat. Kedua orang yang melihatnya membuang napas berat. Sulit sekali menangani gadis itu.
Jam sudah menunjuk ke angka lima sore. Naula mengganti seragam dan merebahkan badannya di kasur. Beberapa menit berlalu hingga ia tersentak dan tersadar jika papanya tidak berkomentar apa pun ketika ia pulang. Pria itu biasanya sangat marah jika Naula pulang sore tanpa izin yang jelas. Ada apa gerangan? Naula tak bisa memikirkan hal itu.
"Non." Terdengar suara Bi Araya dari luar kamar. Naula bangkit dan membukakan pintu.
"Kenapa, Bi?" tanya Naula dan kembali masuk kamar.
Bi Araya berkata, "Ada teman Non di depan."
Naula sontak menoleh dan mengambil ponsel. Takutnya ia lupa jika ada janji bertemu teman. Tak lama kemudian ia mengerutkan dahi dan menggelengkan kepala. "Tapi Nau nggak ada janji temu teman, Bi." Gadis itu berkata dan meletakkan kembali ponselnya di atas nakas.
"Bibi nggak tahu, Non. Tapi dia katanya teman Non dari sekolah."
Dengan sedikit keraguan, Naula akhirnya memilih turun dan melihat siapa yang bertamu tanpa pemberitahuan. Saat menuruni tangga, mata gadis itu menangkap sosok lelaki yang duduk sendirian di ruang tamu. Langkah Naula sempat terhenti. Namun, setelah dipikir-pikir ia tak seharusnya mengabaikan orang yang bertamu ke rumahnya.
"Hai," sapa Naula canggung dan duduk di sofa, tepat di depan lelaki itu.
Lelaki itu tersenyum manis. "Maaf datang tanpa pemberitahuan. Em, aku-"
Naula memotong pembicaraannya. "Kamu Dikta, kan? Ketua ... OSIS?"
Lelaki itu tersenyum lagi dan menganggukkan kepala. "Iya, ternyata kamu ingat."
Naula terkekeh kecil. "Ada apa, ya?"
Dikta mengambil tas ransel yang diletakkan dekat kaki dan mengeluarkan sebuah buku kecil. Ia menyodorkan pada Naula. Naula yang disodori buku kecil kian bingung, dahinya berkerut.
"Apa ini?" tanya gadis itu.
"Itu semua hal tentangku."
"Ha!?" Naula melebarkan mata dan berdiri. Ia kaget bukan main. "Maksudnya apa? Nau nggak paham."
Dikta menarik napas panjang dan mengembuskannya. Di buku kecil itu ia menulis banyak hal tentang dirinya. "Boleh nggak aku dekati kamu?"
Naula memijit pelipisnya yang tiba-tiba menegang. Kepalanya terasa berkedut. "Nau nggak paham apa yang Kak Dikta maksud dan nggak mau paham. Jadi, mending Kak Dikta pulang aja, jangan buang-buang waktu di sini." Naula terang-terangan mengusir lelaki itu.
Naula berbalik dan berlari menaiki tangga. Dikta ikut berdiri dan mencoba memanggil, tetapi gadis itu tak menggubrisnya. Dengan hati kecewa lelaki itu pun keluar ditemani oleh Bi Araya yang jadi saksi kejadian itu karena mengintip dari pintu samping.
"Huah! Apa-apaan coba?" Naula menutup pintu dengan kasar. "Duh, manusia nggak jelas!" Ia menggulung badan dengan selimut.
"Om Dante ke mana lagi, dari tadi nggak kelihatan." Ia bersungut-sungut dari balutan selimut.
***
Dante memarkirkan mobil di depan kafe tempat ia dan Ina janjian sore itu. Ia keluar dengan mengenakan kacamata hitam dan topi yang menutupi setengah dahinya. Saat berdiri di pintu masuk, Ina melambaikan tangan. Pria itupun berjalan mendekat dan mereka duduk berhadapan.Mereka merencanakan pertemuan itu tentu tanpa pengetahuan Pak Maheru ataupun Naula. Keduanya berpakaian tertutup agar tak dikenali orang sekitar. Biasanya orang kencan siang atau malam hari, jelas sejoli ini hanya bisa mencuri kesempatan ketika Pak Maheru pergi.
"Kamu pesan apa?" tanya Ina lembut.
"Samakan aja," balas Dante tak acuh. Pandangannya berkeliling ke tiap sisi kafe.
Setelah selesai memesan, Ina tersenyum dan menggenggam tangan Dante. Lelaki itu tersentak dan spontan menarik tangannya. Hal itu membuat Ina berdesis kesal.
"Kenapa, sih? Giliran Naula yang pegang kamu nggak protes." Ina mencebikkan bibir.
"Ini tempat umum, Na. Jangan mulai, deh." Baru kemarin mereka bertengkar, hari ini juga masih berselisih.
"Ya tapi kan, ka-"
"Permisi, ini pesanannya." Pembicaraan mereka terhenti ketika pelayan menghidangkan nampan berisi makanan yang mereka pesan.
"Makan saja lalu kita pulang," lirih Dante sambil mengambil sendok.
Ina menggebrak meja dengan kasar hingga membuat para pengunjung menatap mereka. Perempuan itu berdiri dan menyiramkan jus mangga ke wajah Dante. Pria itu kaget dan langsung berdiri.
"Apa-apaan ini, Ina?" Emosi Dante mulai menggebu.
"Kenapa? Gak suka?" Wajahnya menantang.
Dante menarik tangan Ina keluar dari kafe itu. Dengan cepat gadis itu menepis dan lebih dahulu keluar dari tempat itu. Dante mengejar hingga ia berhasil menahan Ina di garasi.
"Kamu gila, ya?" Dante tak bisa lagi menahan kemarahannya.
"Awas, gue mau pulang!" Bahasa Ina kembali normal, berarti ia pun sedang tidak dalam suasana hati yang baik. Biasanya ia akan berkata aku kamu ke Dante jika mereka sedang jalan ataupun sedang baik-baik saja.
"Na, ini belum selesai."
"Aku capek, mau istirahat!" bentak Ina dan membuka mobil. Ia melajukan mobil dengan kencang, meninggalkan kafe dan Dante tanpa kejelasan.
Pria itu mengusap wajahnya dengan kasar dan menendang udara. Ia setres dengan kejadian hari ini.
"Om Dante?"
Dante menoleh mendengar suara itu. Tak jauh darinya, Zeni berdiri dengan sebuah plastik di tangannya. Dante gelagapan dan menutup mulutnya dengan tangan, ia takut apa yang terjadi dilihat oleh gadis itu.
"Om, ke sini sama Naula?" tanya Zeni yang berjalan mendekat sambil mengedarkan pandangannya.
"Em ... nggak. Saya sendiri aja, ada beli barang pribadi," jawab Dante gugup.
Zeni mengerutkan dahi. "Barang pribadi? Tapi ini kan kafe tempat-"
Saat yang bersamaan, ponsel Dante berdering. Itu kesempatan bagus baginya untuk melarikan diri. "Maaf, saya harus pergi. Permisi." Dante masuk ke mobil dan menerima panggilan di sana. "Iya, saya kembali sekarang." Lalu mobil itu melaju setelah klakson dibunyikan.
Dante beberapa kali membuang napas dalam mobil. Ia cemas sekarang. Dalam pikirannya timbul pertanyaan tentang kehadiran Zeni yang tiba-tiba. "Apa dia melihat semuanya? Apa dia nanti mengadu ke Naula kalau aku bertemu Ina di luar rumah?"
Dante tak fokus hingga seseorang muncul di depan mobil. Ia terbelalak dan berteriak, "Awas!"
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVE BODYGUARD (END)
RomansaNaula Syakira, gadis kaya dan polos yang jatuh hati pada Dante, bodyguard yang ditugaskan sang papa untuk menjaganya. Ia tak peduli pada usia pria itu yang telah mencapai kepala tiga. Dengan terang-terangan ia mengejar cinta dan memamerkan pada tema...