Bagian 14

13.3K 2.5K 747
                                    

Saddam melirik ke arah Reza yang saat ini tengah sibuk menonton televisi dengan cemilan di pangkuannya.

Saddam melirik ke arah Zara yang kini tertidur di gendongannya. Cowok itu berusaha memfokuskan diri pada hal lain. Namun, ia benar-benar ingin berbicara pada Reza, sekarang.

Kemudian, Saddam menatap ke arah dapur. Sosok Dara masih belum terlihat.

"Apaan sih, lo?!" Reza melotot saat Saddam ketahuan tengah melirik ke arahnya.

Saddam mendengkus. "Diem, dulu. Gue lagi menguatkan hati."

"Idih, najis." Reza menjauhkan posisi duduknya dari Saddam. Lama-lama ia khawatir melihat Saddam yang meliriknya diam-diam begitu.

Saddam beranjak, cowok itu memilih menidurkan Zara di kamarnya terlebih dahulu. Setelah itu, ia kembali ke ruang tengah dan duduk di tempat yang tadi. "Za," panggil Saddam.

"Enggak, Dam! Gue masih normal!" Reza menjauhkan duduknya dan melotot melihat Saddam.

Saddam membelakkan matanya. "Apaan sih, Anjir?! Gue juga masih normal! Gak usah mikir yang macem-macem."

"Gue mau minta izin buat lamar Dara. Dia bilang, gue kudu izin sama lo dulu."  Saddam melanjutkan ucapannya karena tak terima dituduh naksir Reza.

Reza langsung diam. Cowok itu menatap Saddam dengan alis berkerut. "Kenapa harus izin sama gue?"

"Lo abangnya, bangke!" Saddam mendengkus kesal mendengar pertanyaan itu.

"Maksud gue, ngapain izin sama gue? Kan lo mau lamar Dara, bukan gue."

"Dara itu menghargai lo sebagai Abangnya. Sekarang gue tanya, gue diizinin atau enggak? Kalau iya, gue bakal ngomong sama Papa secepatnya. Terus gue bawa Ibu gue ke sini, sama Adik gue juga."

Reza membuang napasnya. Cowok itu mengangguk. "Keputusan ada di Papa sama Dara. Gue udah tahu gimana bahagianya Dara sama lo. Gue gak akan larang kalau kalian emang cocok. Tapi kalau lo berani sakitin adik gue, tato kecebong di tangan lo itu, gue jual."

"Yeu! Kecebong. Ini tuh tulisan, ini dipinggir, namanya bunga mawar. Seenak jidat disamain sama kecebong." Saddam menyodorkan lengannya yang terdapat tato.

Reza memukulnya dan menjauhkannya. "Jelek!"

"Ya kalau ini nempel di lo ya jelek. Kulit lo kan item."

Reza memicingkan matanya tak suka. Cowok itu lantas menatap warna kulitnya sendiri. "Daripada lo, cowok kok kulitnya putih."

"Perawatan, boy!" Saddam menyodorkan tangannya pada Reza bermaksud sombong.

Reza menepisnya. "Kayak cewek."

"Karena gue mampu. Kenapa? Mau juga?"

Reza memilih beranjak, cowok itu berjalan menaiki anak tangga seraya mengacungkan jari tengahnya ke arah Saddam.

Saddam tertawa. Ini ... Reza merestui Saddam kan, tadi? Berarti, Saddam sudah boleh berbicara pada Papanya Dara? pikirnya.

Tak lama, sosok Dara keluar dari arah dapur. Saddam langsung tersenyum lebar mendapati gadis itu yang membawa sepiring mie pedas kesukaannya.

"Eh, makan pedes terus," sindir Saddam.

Dara duduk di sebelahnya. Gadis itu melirik Saddam. "Mau?"

Saddam menggeleng. Cowok itu memilih meraih cemilan milik Reza yang berada di meja dan memakannya.

"Zara tidur?" tanya Dara.

"Iya. Dar, siap, ya?" kata Saddam tiba-tiba.

Dara mengerutkan alisnya. Gadis itu sontak saja menatap Saddam heran. "Siap, apa?"

Dara : Hello You! [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang