"Dara mau nikah sama Pacar Dara, Ma. Namanya Saddam, Mama bisa ...."
"Nikah?"
Dara terdiam mendengar suara di seberang sana. Nada tak suka terdengar begitu jelas. Dara menarik napasnya pelan berusaha untuk tenang. "Iya, Ma. Udah minta restu ke Papa juga, tinggal ke Mama. Mama ...."
"Enggak."
Dara berhenti berbicara ketika mendengar jawaban dari Mamanya. Gadis itu menghela napasnya. "Kenapa?"
"Kamu itu masih muda, Dara. Lagian, bukannya kamu masih kuliah?"
Dara diam. Gadis itu memejamkan matanya kuat. Tangannya meremas ujung baju yang ia kenakan. "Ma ...."
"Mama pernah gagal, Ra. Enggak segampang itu."
"Saddam baik, Ma. Dara sama dia udah pacaran lama, lagian ... Papa juga udah kasih restu kok. Reza juga, dia percaya sama Saddam. Dara ...."
"Enggak menjamin, Dara. Yang waktu pacaran sayang, belum tentu setelah nikah sesayang itu juga. Kamu masih muda, pacar kamu juga, kan? Kenapa harus buru-buru? Kalian enggak lakuin hal macem-macem, kan?"
Dara memejamkan matanya. Gadis itu menggeleng walaupun dia tahu Mamanya tidak akan melihat. "Enggak, Ma. Saddam enggak sejahat itu. Ma, please ... Percaya sama Dara. Dara bukan Mama ataupun Papa, Dara bisa belajar dari pengalaman Mama sama Papa."
"Denger apa kata Mama. Enggak, kamu masih muda. Masa depan kamu masih panjang, Mama enggak mau lihat anak Mama ngalamin hal yang sama kayak Mama nantinya."
"Ma ... Kenapa Mama harus bilang kayak gitu, sih? Saddam minta restu ke Papa, emang karena dia bener-bener punya niat baik. Dara ataupun Saddam bukan kecelakaan, Ma. Dara enggak hamil."
Hening. Tak ada jawaban apapun di seberang sana. Dara memejamkan matanya lagi kala ia sadar dia salah berucap. "Ma ...."
"Enggak, Dar."
Tut
Sambungan terputus. Dara mengigit bibir bawahnya, risau.
Bagaimana cara Dara berbicara pada Saddam? Apa dia akan memperjuangkan Dara, atau memilih mundur karena Mamanya tak merestui perihal ini?
Iya, Dara tahu Mamanya pernah gagal. Dia hanya khawatir pada Dara, yang perlu ia lakukan adalah meyakinkan Mamanya bahwa Dara dan Saddam tidak akan meninggalkan satu sama lain setelah menikah nanti.
Tapi pertanyaannya, apakah Saddam mau berjuang bersama Dara untuk meyakinkan Mamanya? Atau justru malah memilih pergi?
Mengingat, ketika bersama Anara dulu, Saddam putus karena tidak mendapat restu. Saddam yang memilih mundur.
Jika iya Saddam mundur, apa Dara siap mejalani hari-harinya tanpa Saddam? Apalagi, mereka hampir setiap hari bersama.
"Gue harus gimana?" Dara memeluk kedua kakinya yang ditekuk dan menyembunyikan wajahnya di sana.
Gadis itu khawatir, dia takut. Dia takut Saddam pergi. Selama dua tahun ini, Saddam memberinya bahagia.
Selama itu juga, Saddam selalu bercerita tentang dirinya tanpa terkecuali. Jika Saddam mundur, apa Dara siap melihat Saddam menemukan pengganti dirinya, nanti?
Dara menatap nomor Saddam di ponselnya. Ia bimbang, haruskah ia memberi tahu ini pada Saddam sekarang?
Gadis itu mengusap air matanya. Dia tidak mau melihat raut sedih cowok itu. Dia sudah nampak bahagia kemarin sore karena Ragil memberinya restu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dara : Hello You! [End]
General FictionKamu sempurna jika bersama orang yang tepat. ••• Sequel Langit Dara!