Hari demi hari, dan bulan demi bulan berganti. Dan besok, adalah hari yang begitu Saddam tunggu-tunggu. Hari pernikahannya dengan Dara.
Saat ini Saddam di Bandung, dia sudah berada di sana sejak kemarin. Rumahnya pun kini terisi penuh oleh Om, Tante, dan sepupu sepupunya.
Tiga bulan lalu, ketika acara lamaran berlangsung, esoknya berita itu langsung tersebar di internet maupun televisi. Mereka tentunya bisa tahu karena Langit mengunggah foto dirinya bersama Saddam dan Dara yang menunjukan cincin.
Ada yang mengatakan patah hati, ada juga yang mendukung dan mendoakan mereka agar dilancarkan sampai hari H.
Saddam tersenyum tipis. Selama tiga bulan itu, Saddam benar-benar disibukan dengan pekerjaannya. Sedangkan Dara masih sibuk kuliah dan juga masa pemulihan akibat kecelakaan tempo lalu.
"Aduh, si kasep. Cepetan tidur atuh, udah malem ini. Besok kan kita ke Jakartanya nyubuh," kata Bibinya Saddam.
"Nanti atuh, Bi. Belum ngantuk, deg-degan. Besok ijab kabulnya lancar gak ya?" Saddam terlihat gelisah di teras. Dia bahkan memegang kertas di tangannya.
Bibinya itu tertawa. Dia menepuk pundak Saddam pelan. "Ya kamunya harus yakin, atuh. Kalau enggak yakin mah, gak tau deh."
"Bibi mah ... Ya Aa yakin atuh. Cuman degdegan aja." Saddam mendengkus pelan.
"Yaudah, ya. Tidurnya jangan terlalu malem, A. Besok tuh kamu butuh energi banyak. Kalau gitu, bibi teh, masuk, ya?"
Saddam mengangguk. Setelah bibinya masuk, ia kembali menatap kertas di tangannya. Ia memejamkan matanya dan menyandarkan kepalanya pada tembok. "Gini nih, kemarin ditunggu banget. Sekarang malah gemeter lihat tulisan ijab kabul," gumam Saddam.
"Wayoloh!"
Saddam membuka matanya. Ia mendengkus kesal kala mendapati Selly yang kini tengah duduk di sampingnya.
Gadis itu menyodorkan sebuah buku pada Saddam. "Berhubung Pre-ordernya dan cetak udah beres. Dan yang belinya banyak, bukti terbitnya udah sampe. Selly dapet 3, nih satu buat Aa. Ini kan ceritanya Aa sama teh Dara."
Saddam langsung menegakkan tubuhnya. Ia lantas mengambilnya dan melihat sampul novel yang masih terbungkus oleh plastik itu. "Sel, ini beneran? Kamu udah bikin? Sejak kapan, kok udah ...."
"Udah dari dua tahun lalu Selly bikin, A. Sejak Aa minta Selly buat bikin cerita Aa sama teh Dara. Terus, ya Selly juga merasa termotivasi aja gitu denger cerita Aa sama teh Dara. Tapi ... Selly nulisnya cuman sampai Aa jadian sama teh Dara. Rencananya sih mau bikin lagi series ke-2. Dari zaman Aa pacaran, sampai nanti punya anak. Boleh ya?"
Saddam tersenyum menatap buku itu. Padahal, ia hanya bercanda meminta Selly menuliskan buku tentangnya. Iya, dia pernah memintanya ... Saat dirinya baru saja jadian dengan Dara waktu itu.
Sepertinya, Selly benar-benar menyimak curhatan Saddam saat masih PDKT sama Dara waktu itu. Buktinya, novel ini bisa selesai.
"Emang bener-bener deh adik Aa yang ini." Saddam langsung mengacak puncak kepala Selly pelan.
Selly tersenyum. "Dijaga lho, A. Selly nulisnya pakai hati."
"Pasti."
•••
Hari itu tiba. Di kamarnya, Dara kini sudah mengenakan baju pengantin berwarna putih. Dia mengenakan hijab. Tanpa paksaan, Dara yang menginginkannya.
Dara terlihat gugup. Keringat sedaritadi terus menerus keluar. Perias itu hanya terkekeh dan sesekali mengusap keringat Dara sepelan mungkin. "Jangan gugup, Mbak. Tapi kalau saya juga pasti gugup, sih. Apalagi Mas Saddam itu kan ganteng banget, ya? Kalau lagi konser juga beuh keren banget, Mbak."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dara : Hello You! [End]
General FictionKamu sempurna jika bersama orang yang tepat. ••• Sequel Langit Dara!