Ekstrapart

22.6K 2.6K 1K
                                    

Dara masih di Kiaracondong. Setelah selesai tahlilan hari pertama, kini dia duduk di teras rumah sendirian. Tangannya sedaritadi terus menerus mengusap perut datarnya.

Ia menoleh ke sampingnya. Biasanya, Saddam ada di sana. Mengobrol dan tertawa bersamanya. Tapi, kini Saddam sudah tiada. Dia sudah pergi, dan yang pasti ... Dia tak lagi merasakan sakit di sana.

Berita kepergian Saddam langsung tersebar di internet, sosial media, dan juga televisi.

Dara juga sempat diminta untuk menjelaskan kronologinya. Namun, Dara menolak. Akhirnya, Reza yang menjelaskan menurut pandangannya sendiri. Hanya sebentar, setelahnya Reza meminta pengertian pada mereka.

"Kenapa cepet banget sih, Dam?" ujar Dara. Ia seolah merasa bahwa Saddam ada di samping sekarang.

Menemaninya, menatapnya, dan tersenyum ke arahnya seperti biasa. Namun sayangnya, itu hanyalah halusinasi. Saddam tidak ada di sini.

"Teh ... Ke dalem, yuk? Udah malem. Kasihan dedek yang ada di perut." Selly memasangkan jaket pada bahu Dara.

Dara menoleh. Dia tersenyum dan mengangguk. "Nanti ya, Sel. Teteh masih mau di sini."

"Selly ... Enggak tahu nasib Selly sama Ibu setelah ini. Selama ini kan, kami bertergantungan sama Aa, Teh." Selly menunduk. Dia menatap kakinya, sebenarnya tidak ada yang menarik di bawah sana, Selly hanya berusaha agar air matanya tak lagi tumpah.

"Kamu jangan khawatir soal itu ya, Sel. Tugas kamu sekolah, Aa kamu kan suami Teteh. Apa yang jadi tanggung jawab dia, sekarang jadi tanggung jawab Teteh. Teteh ... Cuman enggak percaya aja kalau Aa kamu bisa pergi secepat ini."

Dara terkekeh pelan. Namun air matanya jatuh begitu saja. "Andai aja Teteh tau kemarin adalah hari terakhir Teteh lihat Aa kamu, Teteh enggak akan izinin dia pergi, Sel. Tapi ... Mungkin ya emang ini takdirnya. Teteh juga enggak bisa buat nolak, kan?"

"Aa sayang banget sama Teteh, tau." Selly tersenyum lebar. Namun, melihat air mata Dara jatuh, akhirnya pertahanannya pun ikut runtuh. Dia meneteskan air matanya.

"Aa tuh ... " Selly tak dapat lagi melanjutkan ucapannya. Dia tutup wajahnya menggunakan kedua tangan dan kembali menangis.

Saddam sangat berarti untuknya. Dia adalah sosok pengganti setelah Ayahnya pergi. Dia selalu memberi segala kebutuhan Selly, dia selalu berperilaku lembut, konyol, dan menjadi teman sekaligus Ayah, Abang, dan segalanya untuk Selly.

Reza keluar dari dalam rumah. Dia menghampiri keduanya dan duduk di antara mereka. "Kenapa, hm? Kok pada nangis?"

Reza mengeratkan rangkulannya. Sedangkan Dara, tak sungkan langsung memeluk Abangnya dan menangis di sana. Dia tidak mengatakan apapun.

"Dara, Selly, denger ya ... Saddam tuh lihatin kalian, lho. Kalian nangis kayak gini, dia pasti ikutan sedih."

"Dia pasti berat banget buat pergi nantinya."

Reza mengusap puncak kepala keduanya. "Coba kalian bayangin, kalau misalkan Saddam masih bertahan ... Terus harus ngerasain sakit. Emang enggak kasihan?"

"Kalian lihat kan luka di badan sama mukanya Saddam kayak gimana?" Sambung Reza.

Reza tertawa pelan melihat keduanya masih enggan berhenti. Reza juga sedih, dia juga sama merasa kehilangan. Namun, dia enggan menunjukannya, lagi. Dia takutnya malah membuat Saddam berat untuk pergi. Kasihan Saddam.

"Gini, deh ... Dara ... Lo jangan khawatir. Lo punya gue, kalau butuh apapun dan selama gue bisa lakuin dan bantu ... Pasti gue selalu ada buat lo."

"Selly, anggap Reza Abang kamu, ya? Selly Adiknya Saddam, Adiknya Reza juga. Jangan sungkan kalau butuh apa-apa." Reza ingat permintaan terakhir Saddam. Dia menutipkan Selly padanya. Itu artinya, dia harus menjaga Selly sebagaimana dia menjaga Dara.

Dara : Hello You! [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang