Jangan lupa dengerin lagunya ya!!
Part 9. Reckless
Hana suka hujan.
Baginya hujan adalah sebuah terapi, terapi yang membuat kita terlena dan tanpa sadar menunjukkan jati diri kita yang asli tanpa di tutupii lagi. Hujan itu ajaib, karena saat hujan seseorang akan dengan senang mengungkapkan semuanya tanpa ada yang mengetahuinya. Hujan memelukmu dan seolah berkata "Tak apa ungkapkan saja semua, tak akan ada yang melihat ku jamin itu."
Hana mendongak menatap langit yang tampak sendu kelabu. Sepertinya Jakarta akan mengawali aktifitasnya dengan di iringi oleh tetesan air hujan. Sama seperti Hana yang sekarang sudah siap dengan mantel merahnya. Berbeda dengan keadaan langit yang tampak mendung, mantel Hana sangat kontraks dengan cuaca pagi ini.
Hana akan berangkat dengan ayahnya hari ini, menolak ajakan Cakara yang biasa mengantarnya. Hana hanya tidak ingin merepotkan Cakara kali ini. Hana tahu bahwa Cakara sedang sibuk mempersiapkan peresmian distro keduanya. Sungguh Hana ikut senang dengan pencapaian Cakara di usianya yang terbilang masih muda. Tapi Hana juga mengkhawatirkan kesehatan Cakara, beberapa hari ini ia sering memergoki Cakara melewatkan jam makan dan jam tidurnya.
Hana tidak ingin Cakara jatuh sakit, apalagi acara peresmian sebentar lagi di gelar Hana tidak ingin di acara penting itu Cakara jatuh sakit. Maka dari itu Hana berencana untuk bertemu dengannya nanti sepulang sekolah. Ah rasanya sudah tidak sabar!
"Lo senyum sekali lagi gue timpuk nih," Rama memandang Hana heran sekaligus takut, takut kesambet maksudnya.
" Sirik aja si ferguso, kalah main game kan semalem. Pantes sensi anak dugong,"
"Bacot banget kakak dugong satu ini,"
Inilah yang akan terjadi bila Hana dan Rama berangkat bersama-sama, jangan harap ada kedamaian di antara keduanya. Ayah yang mulai terusik pun menenggok dan melerai keduanya.
" Eh kak, dek kok malah ribut, mana bawa-bawa dugong. Ayah tanya yang kalian maksud dugong itu siapa?"
Tepat setelah Ayah selesai mengucapkan itu, Rama dan Hana menunjuk satu sama lain secara bersamaan.
" Berarti ayah juga dugong?" Dengan polosnya ayah bertanya seperti itu.
Hening beberapa saat menyelimuti mobil, Mereka masih mencerna ucapan ayahnya yang kelewat santai itu. Hingga akhirnya
"IYA AYAH JUGA DUGONG" Ucap mereka bersamaan dan menimbulkan gelak tawa yang mengisi perjalanan mereka pagi ini.
****
Cakara memandang dirinya yang tampak sangat berantakan. Terlihat kantong mata yang semakin menghitam. Akhir-akhir ini dia memang kurang memperhatikan dirinya sendiri. Bukan hanya karena distronya tapi dia juga memikirkan ucapan dokter Ryan saat itu, bohong bila ia tak perduli nyata nya dia tetap peduli.
Tak bisa di pungkiri lagi penyakitnya seemakin menampakkan keganasannya, belum lagi Alzheimer nya yang mulai sering kambuh, ia tau cepat atau lambat itu akan terjadi namun ia tidak menyangka bila akan secepat ini. Mulai dari hal-hal kecil yang ia lupakan namun itu cukup untuk membuatnya resah.
Cakara tidak tahu seberapa lama dia akan tetap bertahan di dunia ini. Cakara tidak ingin melupakan semuanya, ia hanya ingin memanfaatkan sisa waktunya sebaik mungkin. Cakara takut, sangat takut.
Cakara mengambil hape nya yang sedari tadi berbunyi di atas nakas. Cakara melihat beberapa pesan yang yang masuk dan ada juga panggilan tak terjawab dari ibunya. Ada juga pesan dari Hana yang menyuruhnya untuk sarapan. Tanpa sadar sudut bibir Cakara membentuk senyum menghiasi wajahnya yang sedari tadi tampak murung.
Kemudia Cakara juga membuka pesan dari ibunya yang menyuruhnya untuk pulang. Dia memang beberapa hari ini menginap di distro. Cakara pun bergegas membersihkan dirinya, ibunya bukan orang yang senang untuk menunggu. Padahal ia berencana untuk berangkat ke kampus dari sini.
*****
"Akhirnya dateng juga kamu,"
Itu adlah sapaan pertama yang Cakara dapat dari mulut ibunya. Terlihat ibunya sedang duduk di ruang tamu dengan secangkir teh di tangannya.
"Macet ma sedang hujan juga," Cakara mendekati ibunya lalu menyalimi tangannya.
"Kayaknya meja kerja kamu di distro lebih nyaman dari pada kasur di kamar kamu, sampe-sampe mama di lupain," Ungkap ibunya merajuk.
"Gak gitu ma, Cakara mana bisa lupain bidadari satu ini," Memang paling bisa Cakara membuat ibunya kembali tersenyum.
" Mama tetap khawatir kamu tinggal di distro sendiri. Kenapa gak dari rumah aja sih kak?"
"Gak bisa ma, mama tau keputusan aku,"
" Keras kepala sama seperti ayah mu, ayok mama udah siapin sarapan buat kamu."
Cakara tau bahwa ibunya sedang merinduhkan ayahnya karena tidak hanya ibunya yang merasakan itu tapi dia juga, Cakara juga sangat merinduhkan ayahnya.
******
Hana keluar dari toilet dengan baju seragam yang sudah berganti dengan baju yang Cakara kasih saat itu. Suasana sekolah sudah terlihat sepi hanya beberapa segelintir orang yang sedang melakukan ekstrakulikuler. Bell pulang sekolah sudah berbunyi sejak setengah jam yang lalu.
Dengan senyum yang tidak pernah luntur dari wajahnya, Hana menjalankan kaki nya keluar gerbangg dengan suasana hati yang baik. Hana kembali melihat baju yang sedang ia pakai sekarang. Hana sungguh tidak sabar melihat respon Cakara saat melihatnya.
Hana mengambil hapenya untuk mengirimkan pesan pada Cakara sambil menunggu taksi yang sudah ia pesan. Hana sudah menyiapkan bekal makanan untuk Cakara yang sudah ia siapkan sendiri. Beberapa hari ini memang mereka jarang untuk bertemu jadi kesempatan ini sangat di tunggu oleh Hana.
Di tempat lain, Cakara juga baru keluar dari kelasnya. Hari ini Cakara hanya punya satu kelas jadi dia masih punya waktu untuk istirahat sebentar. Cakara duduk di salah satu taman kampus lalu melihat hape nya yang sudah mati. Cakara berencana untuk kembali ke kelas untuk mengambil charger yang tertinggal.
Namun saat Cakara baru saja beranjak berdiri, tiba-tiba Cakara merasakan sakit yang amat kuat pada kepalanya. Cakara merasa seperti sedang berputar-putar bahkan dia hampir terjatuh duduk kembali. Namun ada sebuah tangan yang menahannya dia Natalie, teman satu fakultasnya.
"Kamu gak papa Ra? Muka kamu pucet banget," Natalie terlihat sangat khawatir terlihat dari raut wajahnya.
"Saya gak papa. Terimakasih Natalie tapi saya harus pergi," Cakara melepas cengkraman tangan Natalie.
" Tapi kamu mau kemana, biar aku temenin,"
" Saya juga lupa saya mau kemana."
******
Part ini aku bagi jadi dua karna kalo satu jadi panjang banget:(
Udah mulai meresahkan si Alzheimer wk wk
Nih buat jaga-jaga part selanjutnya.
Happy reading guys!!
KAMU SEDANG MEMBACA
Cakara
Teen FictionJUDUL SEBELUM NYA : ALZHEIMER "Bukan rasa ini yang menghilang, tetapi atensimu yang perlahan menjauh dari pandangan." Bagaimana bila kita melupakan sesuatu yang sangat tidak ingin kita lupakan? Bagaimana rasanya? Bagaimana rasanya ketika orang terp...