Part 13. Bunda

19 4 0
                                    

Part 13. Bunda


" Assalamualaikum, bunda pulang!"

Hana yang sedang berada di dapur segera berlari meninggalkan dapur. Menghampiri bunda. Hana menengadah kedua telapak tangannya ke depan, meminta pesanannya tadi.

" Kamu bukannya jawab salam bunda malah langsung nodong pake tangan,"

Tangan bunda ter-ulur mencari pesanan Hana yang berada di salah satu kantong belanjanya. Iya belanja bulanan. Terlihat beberapa kantong kresek belanja besar yang sedang di bawa oleh ayah. Bunda? hanya membawa tas belanja kecil.  Beruntung Hana kali ini tidak ikut, bisa ia bayangkan bagaimana lelahnya ayah mondar-mandir di pusat berbelanjaan.

Bunda memberikan pesanan Hana, tidak lelah menangadah menunggu barangnya dengan senyum puas di wajah.

" Waalaikum sallam bunda ku sayang, ayah ku sayang juga tentunya" Ucap Hana sambil mencium pipi kedua orang tuanya. Kebiasaan sejak kecil lambang terima kasih.

" Ayah pasti pegel, sini belanjaannya biar Hana yang bawa ke dapur biar Rama yang mijetin ayah. Bunda sama ayah pasti haus juga kan, Hana buatin minum. Teh atau kopi?"

" Ah iya, ayah kopi. Bunda teh,"

Hana segera merebut kantong belanja dari tangan ayah dan bergegas pergi ke dapur.  Semua di buat melongo akan tingkah Hana. Bunda memicingkan matanya curiga pada tingkah Hana. Biasanya ada maunya.

" Ram kakak mu kenapa?" Ucap ayah memecah keheningan. Terlalu terkejut sampai lupa untuk duduk. Yang di tanya hanya diam  mengedikkan bahu tidak tahu terus memijat lengan ayahnya. Itu lebih penting sekarang.

" Mungkin hatinya tergerak untuk jadi anak yang lebih berbakti lagi," Ucap ayah lagi.

" BUNDA, GULANYA GAK ADA!!!" Teriak Hana dari dapur.

Bunda melirik ayah yang sudah bersembunyi di balik pungung putranya. Harusnya ini tugas ayah membeli gula.

Ayah lupa lagi.

Setelah melihat aksi kejar mengejar antarar ayah dan bunda berujung  asam urat ayah kambuh, akhirnya bunda menyuruh Rama untuk membeli gula di supermarket terdekat. Dengan dumelan yang tertahan  Rama pulang membawa gula menyerahkannya pada bunda, rama kembali duduk. Rama masih ngambek.

 Hana meletakkan kopi dan teh  di atas meja depan ayah dan bundanya yang sedang duduk.

" Ayok bun bantuin Hana maskeran."

****

Hening. Bunda sibuk mengoleskas masker pada wajah Hana. Sedangkan Hana merenung memikirkan apakah esok berjalan sesuai apa yang ia bayangkan. Tak perlu muluk. Melihat orang tua Cakara menyukainya itu sudah cukup.

"Besok bagusnya aku pake baju apa bun?"

"Pakai baju yang mencerminkan diri kamu, yang buat kamu nyaman memmakainnya dan yang terpenting membuat kamu semakin percaya diri,"

Bunda beranjak berdiri hendak memindahkan wadah di dekat meja belajar Hana. Bunda suda selesai mengoleskan masker pada wajahnya.

"Tapi gimana kalo mereka malah gak suka?" Terlihat sekali raut bingung, cemas, dan gugup di wajahnya. Bunda yang melihat kebingungan itu tersenyum, bergerak melangkah duduk di sebelah putrinya. Satu yang ia sadari sekarang. Putrinya sudah bukan anak kecil lagi. Bagaimana bisa waktu bergerak secepat ini.

Bunda mendekat membawa Hana dalam pelukannya, mengelus surai Hana dengan lembut.

"Lebih baik begitu. Jika kamu memenuhi ekpetasi mereka dan tiba-tiba tahu bahwa itu bukan kamu yang sebenarnya bagaimana reaksi mereka. Kecewa karena ekpetasinya salah, marah sudah di bohongi. Dan yang terpenting kamu akan merasa ini bukan kamu lagi. Kamu bisa buat Cakara mencintai kamu dengan cara kamu sendiri. Tentu bukan hal sulit juga untuk kamu buat mereka menyukai kamu dengan cara kamu. Dengan cara Hana."

Ucapan Bunda berhasil membuat Hana tenang. Hana bersyukur memiliki keluarga yang selalu memahami keadaannya. Dengan mata yang berkaca-kaca, Hana semakin erat memelu bundanya. Tidak memperdulikan maskernya yang masih basar, tidak memperdulikan jika baju bunda akan kotor terkena maskernya. Hana tidak peduli. Dia hanya ingin memeluk bundanya semakin erat.

***

Maaf ya dikit part ini semoga kalian suka. Maaf banget baru bisa up sekarang:)

CakaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang