Detik jarum jam menghiasi sepinya suatu ruangan. Hari itu langit mendung, namun hujan pun tak kunjung menyapa bumi. Kenangan buruk di masa lalu, tidak bisa dengan mudahnya dihilangkan dari pikiran.
Terkadang, manusia ini hanya menatap datar ke arah piano, biola, bahkan gitar yang warnanya sudah mulai pudar di sudut ruangan, dan setelah itu salah satu dari benda itu akan melayang dari tempatnya. Ah, salah, maksudku dilempar oleh pemilik rumah, tapi kelihatannya tidak untuk hari ini.
“Sudah lama, tapi rasanya masih sama,” gumam seseorang dengan sorot mata yang seolah tak memancarkan kehidupan.
Ia maju mendekati piano, menekan setiap tuts dengan telunjuknya. Alunan melodi terdengar, semakin tinggi nada yang dihasilkan, kerutan dan keringat dingin di wajah orang itu akan semakin terlihat jelas.
“Do, re, mi, fa, sol, la, si, ...” telunjuknya hanya menempel pada tuts terakhir tanpa menekannya. Peluh sudah membasahi wajahnya dan kepalan tangan terlihat di tangan sebelah kiri orang tersebut.
Ting! Tuts terakhir tertekan tanpa ia sengaja.
Brakk!!
“Arghhhh!! Gue nggak bisa!!"
"Kembaliin!! Kembaliin!!” teriak pemuda itu dengan kalap. Ia menggebrak piano hingga terdengar nada yang sangat sumbang,
Ia terduduk dan menangis sembari menjambak rambutnya, kulit kepalanya pun hingga memerah.
Tak lama, ia berbaring dengan posisi miring di dekat piano itu.Mengusap-usap lantai dengan sayang. Seolah ada seseorang yang ikut tertidur di sampingnya. Ia tersenyum kecil, sesekali mencium lantai.
“Jordan di sini, Ma. Jordan sayang, Mama.”
***
Dering bel istirahat terdengar. Murid-murid berhamburan menuju kantin, menyerbu stand-stand makanan yang ada di sana.
Di sisi lain, ada lima anak yang terlihat terpisah dari gerombolan. Mereka ada di meja bundar yang ada di tengah ruangan. Mereka terdiri dari dua perempuan dan tiga laki-laki dengan berbagai snack dan alat kecantikkan di tengah meja.
“Vi, gue dah cans belom?” tanya gadis dengan bandana merah muda.
“Udah, Ra. Lo udah nanya gitu ke gue semenjak keluar dari kelas sampe sini. Nggak capek emangnya?” sahut gadis yang dipanggil 'Vi' tadi.
“Gue kan cuma nanya, Violaaa. Bukan mau ngerebut sertifikat rumah lo, Bambang.”
“Dih, Viola, ya, Viola. Bambang tuh yang jualan es kelapa muda noh,” sarkas sosok di samping kiri Viola yang tengah menunjuk ke stand paling ujung.
“Ewh, abangnya cakep, sih, tapi sayang udah berbini. Hiks Clara nggak like!” pekik Clara sembari memainkan rambutnya.
“Ravel ada saudara cowok yang jomb- eh, single gitu, nggak?” tanya Clara dengan mata berbinar setelah meralat ucapannya.
Orang yang dipanggil Ravel oleh Clara pun menggeleng cepat.
‘Kalaupun ada, gue nggak akan kasih tau lo, Ra. Kasian mereka didempetin sama anak lulusan rumah sakit jiwa kaya lo,’ batin Ravel.
Clara pun cemberut. Sedetik kemudian, ia kembali berkaca dan membenarkan anak rambutnya.
“Random gini, ya, Bund. Capek hati Abang,” ucap lelaki berkacamata.
“Gue tahu perasaan lo, Ki. Harap bersabar, ini bukan ulangan,” celetuk Viola menatap nanar Kiki yang ada di samping kanan Clara.
“Kalau begini ceritanya, mending gue ke perpus aja, rasanya gue makin bobrok bareng kalian,” ucap Kiki dengan melipat tangan di atas meja, membuat Ravel, Viola, dan Clara tertawa.
“Bacot. Abisin tuh snack,” titah Saga, cowok paling jutek di antara mereka.
Entah bagaimana ceritanya manusia keturunan es balok ini bisa tergabung dalam circle gila Viola dan kawan-kawan.
Yang jelas, Saga selalu bersama mereka, walaupun irit dalam berbicara.“Iya, Pak. Santuy napa, sih,” kata Viola. Viola mengambil jus stroberinya dan menyeruputnya hingga habis setengah gelas.
Begitu juga dengan Clara yang saat ini tengah menikmati kentang goreng bersama Kiki dan Ravel yang sudah masuk dalam dunianya, hp miring. You know what I mean, right?
Lain halnya dengan mereka, Saga sesekali melirik pada salah satu anak yang duduk di sudut kantin dengan menenggelamkan kepala rapat-rapat pada lipatan tangannya di atas meja dengan pandangan yang tak bisa diartikan.
Tanpa ia sadari, salah satu dari sahabatnya juga ikut memperhatikan anak misterius itu.
Jadi, gimana menurut kalian? Duh, maaf kalau nggak sesuai ekspetasi, huhu. Doi kalian aja kadang ngecewain, kan? 🗿
Jangan lupa vote, comment, dan add ke library, yah😣😘
See u next chap, korban ghosting~😭
🖤
KAMU SEDANG MEMBACA
DEATH MELODY
Teen FictionJika Felix adalah monokrom, maka Viola adalah pancarona. Jika Felix adalah sebuah kecacatan, maka Viola adalah kesempurnaan. Gelap yang terdahulu, perlahan tersingkir oleh terang. Sama halnya dengan Viola yang mencoba menjadi lentera untuk Felix ya...