5. To be Friend

16 8 0
                                    

“Oh, jadi nama lo Felix?”

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Oh, jadi nama lo Felix?”

Tap

Lelaki yang membuat gempar seisi kantin beberapa saat yang lalu itu menghentikan langkahnya lantas menoleh. Di depannya, berdirilah Viola dengan senyum yang mengembang. 

“Lo siapa?” tanya Felix. Sebenarnya ia tahu siapa gadis di depannya ini, tak mungkin ia lupa akan orang yang telah memancing amarahnya.

“Gue Viola. Lebih detail, lengkap, panjangnya, Viola Aretha. Salam kenal!” Viola mengulurkan tangan kanannya dengan riang.

Felix dengan ragu menerima uluran tangan itu. Agak aneh rasanya berhubungan dengan perempuan, bukannya dia gay, hanya saja sudah lama ia tak akrab dengan lawan jenisnya.

“Gue Felix.” Viola manggut-manggut.

“Gue udah tau, sih, hehe.”

Alis lelaki itu terangkat sebelah. “Kalau udah tau ngapain nanya?”

“Emangnya nggak boleh?” ketus Viola. Raut wajah cantiknya berubah masam.

“B-boleh, kok,” balas Felix terbata, membuat Viola tesenyum kembali. Perempuan memang seperti itu, ya, jika dituruti maka mood-nya akan kembali naik.

“Ikut gue mau, nggak?” tawar Viola.

“Ke mana?” Viola tak menjawab pertanyaan Felix, ia langsung menarik tangan cowok itu.

Felix seperti anak itik yang mengekor induknya. Bagaimana tidak? Lelaki tampan bin aneh, bin pendiam, bin masih banyak lagi itu hanya memasang muka bingung dan mengikuti langkah Viola. Ralat. Viola yang menariknya.

Di sepanjang koridor, tak sedikit anak-anak berbisik melihat interaksi antara anak adam dan hawa itu. Aneh saja rasanya, melihat si anti-sosial dengan tiba-tiba menurut saja diseret oleh Viola, si gadis XI IPS 1 yang hiperaktif.

“Kita mau ke mana, sih, Vi?”

“Udah, ikut aja.

***

Rupanya, Viola mengajaknya ke taman belakang sekolah. “Nah, sampai.”

Mereka duduk di salah satu kursi panjang yang ada di sana.

“Ngapain kita ke sini?”

“Nungguin abang topeng monyet. Ya duduk lah,” balas Viola memutar bola matanya malas.

“Ya masa gitu doang?” protes Felix memutar tubuhnya menghadap Viola.

“Terus lo maunya apa? Gue nembak lo? Ya, nggak lah. Nggak tau nanti.”

“Hah?”

“Canda tembak.” Sebuah pukulan kecil mendarat di bahu kiri Felix.

Viola kembali terdiam, membuat Felix pun juga begitu. Mereka sama-sama menikmati semilir angin siang itu. Jam istirahat belum usai, masih ada dua pukuh menit lagi.

DEATH MELODYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang