Selama kurang lebih 10 menit, wanita paruh baya yang menjabat sebagai wali kelas XII IPA 1 itu tidak kunjung kembali setelah mendapat telepon dari seseorang.
Keadaan tersebut membuat seisi kelas mendesah lega karena bel istirahat akan berbunyi 4 menit lagi. Setidaknya otak mereka bisa beristirahat lebih awal dari pelajaran yang memusingkan dan memuakkan itu.
"Kayanya gue salah jurusan deh. Gue eneg banget sumpah. Mual gue," celetuk Ravel memijat pelipisnya.
"Perut lo pindah ke situ?" tunjuk Viola pada pelipis Ravel.
"Duh, sohib gue cakep-cakep bego. Ini gue mumet juga, Vio. Otak gue berasap, nih," keluh Ravel dengan mata memelas.
"Terus ngapain lo masuk IPA, Sadrun!" toyor Clara.
"Kan ngikut Babang Saga. Di mana ada Saga, di situ ada Ravelio Alfarez yang ganteng tiada tara," ucap Ravel sombong seraya menyugar rambutnya. Sifat tengilnya mulai kambuh.
Clara yang sedari tadi pagi sudah gemas dengan tingkah laku Ravel, lantas menarik jambul khatulistiwa lelaki itu. Perihal sepatu, Clara masih memberi keringanan pada Ravel, tapi sekarang rasa ingin mencubit ginjal Ravel ia ganti dengan menjambak jambul terhormatnya. Ah, tapi ia sedikit menyesali kenapa sepatu Ravel tak jadi ia celupkan ke kolam.
"Aduh, sakit woi, Ra!" teriak Ravel berusaha melepaskan tangan Clara yang menjambak jambul kesayangannya.
Tawa keluar dari mulut Clara. "Hahaha, rasain! Makanya jangan bikin gemes gue. Gue udah nahan biar nggak nyentil ginjal lo. Sebagai gantinya, jambul lo yang katanya eksotis ini jadi korbannya!"
Ravel meringis merasakan perih di kulit kepalanya. Jambakkan Clara memang tak bisa dianggap sepele, kawan.
"Udah kek, Ra. Kasian Ravel liat mukanya sampe merah gitu," bela Kiki saat tak tega melihat raut wajah sahabatnya.
"Iya, kasian tuh," imbuh Viola.
Karena rasa tak tega mulai hadir di hati Clara, ia pun melepas jambakannya. Jambul Ravel pun berantakan, bahkan beberapa helai rambutnya menyangkut di telapak tangan Clara.
"Huh, akhirnya gue lega." Clara tersenyum dan menghelas napas lega.
"Lo lega, gue sengsara, Maemunah," ucap Ravel dengan nada yang menusuk membuat Clara semakin tergelak.
"Lo pilih jambul atau sepatu lo yang mehong itu buat gue rusak?" tanya Viola.
Ravel tampak menimbang-nimbang. "Nggak. Nggak dua-duanya, tapi mending jambul aja, sih. Kalo sepatu, nyesek banget gue."
Kiki yang ada di sebelah kanan Ravel pun mendengus kasar. Sahabatnya yang satu ini memang bermata hijau, uang adalah yang nomor satu.
"Pikiran lo duit mulu," cibir Kiki.
"Yeee, bocil sok iye," balas Ravel tak mau kalah.
Saga memerhatikan pertengkaran keduanya dengan jengah. Tadi Clara, sekarang Kiki.
KAMU SEDANG MEMBACA
DEATH MELODY
Teen FictionJika Felix adalah monokrom, maka Viola adalah pancarona. Jika Felix adalah sebuah kecacatan, maka Viola adalah kesempurnaan. Gelap yang terdahulu, perlahan tersingkir oleh terang. Sama halnya dengan Viola yang mencoba menjadi lentera untuk Felix ya...