Tepatnya di rooftop SMA Bima Sakti, sesosok lelaki duduk di dekat pagar pembatas. Mengamati setiap kegiatan yang ada di bawah sana.
Sesekali ia memegang dadanya yang nyeri, juga menyeka peluh yang memenuhi dahinya. Semua terasa sulit, awalnya juga sulit, tapi setelah dirasa-rasa setelah kehadiran 'Dia' rasa takut dan lelah akan keadaan itu berangsur-angsur menghilang. Yah, walau tak instan, tapi ada perubahan.
Felix memperbaiki posisi duduknya. Ia menekuk kedua kakinya yang terjulur ke depan dengan kedua siku yang bertengger manis di tempurung lututnya. Posisi yang nyaman untuk sekadar melihat gadis yang belakangan ini menjadi orang yang mengerti posisinya.
Dari sana, ia melihat Viola yang tengah gugup di bangku peserta lomba. Gadis itu tampak menggigit jarinya sendiri dan sesekali merapikan anak rambutnya yang nakal.
Felix terkekeh, Viola sangat menggemaskan di pandangannya. Saat Anya berusaha menghilangkan rasa gugup Viola, Felix kembali tersenyum geli. Nyatanya Viola masih gugup dan Felix tahu akan hal itu. Penglihatannya setajam elang asal kau tahu.
"Gue nggak denger apapun, Vi. Gue pake earplug sekarang dan gue mau nyoba dengerin suara lo pas giliran lo nanti," gumam Felix.
Sejak acara dimulai, lelaki itu terus menggunakan earplug-nya. Ia tak mau mendengar mereka sama sekali, Felix tak menghiraukan mereka yang kadang mengatainya aneh, bisu, tuli, dan lainnya. Untuk tuli … mungkin karena Felix memakai earplug, jadi Felix agak tak mendengar suara orang-orang, mungkin.
Felix memusatkan pandangannya pada MC, peserta ke-4 sudah turun panggung. Artinya, saat ini giliran Viola, kan? Felix mendengar nomor giliran Viola saat MC membacakan giliran tampil peserta tadi, sesaat sebelum earplug-nya terpasang.
Akhirnya, saat yang ia tunggu-tunggu tiba. Viola dan Anya naik ke atas panggung. Sekejap, Felix terpana dengan Viola yang terbalut dress hitam pendek dan rambut cokelatnya yang dikepang dengan beberapa hiasan bunga yang ada di kepalanya. Kapan gadis itu berdandan? Bukankah tadi dia memakai dress putih sewaktu berpisah dengan Felix?
Tak henti-hentinya Felix memandang Viola dengan tatapan memuja. Viola terlalu cantik, membuat Felix teringat akan Ibu dan Adiknya.
"Lo cantik, Vi. Pake banget malah …" puji Felix dengan tersenyum.
Saat Viola bersiap dengan keyboard-nya, saat itu juga Felix bersiap dengan tekadnya untuk menghadapi trauma yang ia miliki.
"Gue siap. Gue siap, Vi."
'Demi Ayah, demi Mama, demi Cia, dan … demi lo.'
Malam sunyi ku impikanmu
Denting melodi yang dihasilkan Viola langsung menusuk indra pendengaran Felix, membuat tubunya memberikan respon yang tak baik.
Ku lukiskan kita bersama
Namun selalu aku bertanya
Adakah aku di mimpimu
KAMU SEDANG MEMBACA
DEATH MELODY
Teen FictionJika Felix adalah monokrom, maka Viola adalah pancarona. Jika Felix adalah sebuah kecacatan, maka Viola adalah kesempurnaan. Gelap yang terdahulu, perlahan tersingkir oleh terang. Sama halnya dengan Viola yang mencoba menjadi lentera untuk Felix ya...