Kelopak mata itu terbuka sedikit, menampilkan manik hitam pekat yang indah. Lehernya terasa nyeri setelah tertidur dengan posisi bantal yang salah.
Maniknya mengerjap pelan, belum sepenuhnya terbuka. Masih menyesuaikan intensitas cahaya yang masuk, ia memilih bangun dari ranjang. Menyibak selimut dan berjalan mendekati jendela, membuka jendela itu dan membiarkan cahaya matahari yang hangat menyambut tubuhnya.
Ia mengacak pelan rambutnya, menoleh ke kanan dan ke kiri, menghalau rasa nyeri yang malah semakin menjadi-jadi.
"Sshh—" reflek diusapnya leher berurat itu. Rasanya semakin sakit saja jika digunakan untuk menoleh.
Tak menghiraukan rasa sakitnya, lelaki bertubuh atletis itu berdecak pelan lalu masuk ke dalam kamar mandinya dengan bathrobe yang ia bawa.
Cukup 20 menit membersihkan tubuh dan bersiap memakai seragam, ia pun turun ke meja makan, yang sepertinya mau ada atau tidaknya dia di sana. Tidak akan ada yang memprotes.
Drrtt!! Drrtt!!
Denting notif ponsel, pertanda ada pesan masuk. Sebuah tangan menggapai benda persegi itu, jari-jarinya dengan lincah membuka lock screen dan menekan tepat pada notif bar.
Violaa🍒
Jngn lupa sarapan ya-! 🤧
Earplugnya hrs dibawa. Ciayooo🍓Bibir lelaki itu melengkung membentuk sebuah senyuman tipis, kemudian melanjutkan makannya yang tertunda.
Felix.jr
Iya pasti.
Thanks dh ngingetin, vi 😊Send.
***
Genangan air sisa hujan kemarin terlihat di mana-mana. Sisa tanah dan debu yang terbawa aliran air juga berkumpul dibeberapa titik, mungkin terinjak dan jadilah jejak-jejak sepatu yang 'terlukis' di keramik mahal sekolah itu.
Lima pasang jenjang kaki meninggalkan jejak sepatu di lantai koridor sekolah, tepatnya di antara banyaknya jejak sepatu yang lain. Mereka tampak tak peduli, sibuk berjalan beriringan dan mengabaikan berbagai tatapan yang ditujukan orang-orang pada mereka.
"Jalan terus," ucapnya mengomando teman-temannya agar tak terbawa suasana dan tentunya menghindarkan telinga mereka dari ocehan merdu manusia-manusia iri dengki.
"Sekali-kali dianu kek, Ga," celetuk Ravel di sela langkahnya.
"Anu lo gue potong?" tanya Saga, langkahnya terhenti dan menatap datar Ravel yang kini sudah kelimpungan sendiri.
"Ya nggak lah, Sadrun. Gue masih pengen punya masa depan elah."
"Kalo gitu, diem," ujar Saga.
"Banyak bacot, sih, lo," cibir Clara dengan kedua tangan bersedekap.
Ravel menarik salah satu jepit rambut Clara. Ia mengambilnya dengan cepat sebelum tangan Clara menampiknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
DEATH MELODY
Teen FictionJika Felix adalah monokrom, maka Viola adalah pancarona. Jika Felix adalah sebuah kecacatan, maka Viola adalah kesempurnaan. Gelap yang terdahulu, perlahan tersingkir oleh terang. Sama halnya dengan Viola yang mencoba menjadi lentera untuk Felix ya...