2. A Broken Mirror and Who's That?

19 11 0
                                    

Saga terlarut dalam pandangannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Saga terlarut dalam pandangannya. Netra tajam itu seakan menguliti hidup-hidup makhluk di sudut ruangan objek yang hanya diam di tempatnya dengan posisi yang masih sama. Murid-murid lain pun hanya memandang aneh anak yang dipandangi Saga. Untuk apa ke kantin jika hanya untuk tidur?

Tiga menit berlalu, Saga tetap tenang dan terus memandang objek yang sama. Teman-temannya pun bingung atas sikap Saga yang tak seperti biasanya.

"Ga, lo kenapa, sih? Kaya orang kesambet lo, ngeri gue. Jangan diem-diem bae, ah!" celetuk Viola memecah titik fokus Saga.

Kiki, Ravel, dan Clara memandang ngeri pada lelaki titisan es balok tersebut. Siapa yang tidak berpikiran negatif jika temanmu tiba-tiba diam dan memandang pada satu titik saja?

"Nggak, gue nggak liat apa-apa," ucap Saga dengan tenang. Lelaki itu sangat pintar menyembunyikan keterkejutannya. Padahal, ia juga kaget dengan suara cempreng Viola yang menusuk hingga gendang telinga.

"Ah, boong kamu, ya, Mas." Ravel menimpali dengan muka tengilnya setelah meletakkan handphone di atas meja.

"Tangan gue mendadak gatel pengin mukul orang," ucap Saga. Ravel bergidik ngeri, ia tak ingin wajah tampannya ini menjadi samsak gratis untuk Saga. Bagaimanapun juga, wajahnya yang tampan adalah aset berharga.

"Seriusan nggak liat apa-apa?" selidik Viola sembari memincingkan mata.

Saga memutar bola matanya malas. "Iya, Vi."

Viola sangat tidak puas dengan jawaban sahabat laki-lakinya itu. Padahal di dalam otaknya, ia sedang berusaha menerka-nerka perihal apa maksud Saga melihat anak di sudut kantin itu, namun ia hanya diam.

"Oke, deh." Viola mengulum senyum manis.

***

Kring!!! Kringgg!!!

Dering bel pulang sekolah berbunyi. Koridor SMA Bima Sakti mulai dipenuhi siswa-siswi yang berlalu-lalang. Sebagian duduk-duduk saja menunggu jemputan mereka dan banyak juga yang tengah mempersiapkan peralatan untuk ekstrakurikuler.

Kelas Viola dan teman-temannya juga sudah selesai. Saat ini, mereka berlima tengah duduk-duduk santai di dekat kolam ikan halaman depan.

"Duh, males banget pulang," ucap Clara sembari menatap siswa-siswi sekolahnya yang berjalan melewati mereka.

"Ya udah, kalau gitu lo di sini aja. Nangkring di pohon beringin sambil jagain sekolah sonoh. Kasian juga Pak Mumun swipping sendirian pas malem," ujar Ravel dengan muka yang dibuat sedramatis mungkin.

Clara merasa sebal dengan saran Ravel. Secara tidak langsung, Ravel menyuruhnya untuk menjadi penghuni baru pohon itu. Tentu saja Clara tidak mau, mengingat adanya kabar bahwa ada kuntilanak yang menghuni pohon besar tersebut.

"Oh, lo nyamain gue sama Mbak Kun yang punya tuh pohon, hah?!" hardik Clara sembari menunjuk pohon beringin yang Ravel maksud.

"Ih, jangan ditunjuk-tunjuk. Nanti yang punya rumah marah, Ra. Gue, sih, nggak mau kalau dibuntutin Mbak Kun sampai rumah. Hihhh, amit-amit." Ravel menjauh sedikit dari Clara yang ada di sampingnya dan berlagak merinding.

Clara pun beringsut mendekati Ravel kembali dan mengusapkan telunjuknya pada seragam lelaki tengil itu.

"Lah, lo ngapain, Neng?" tanya Ravel bingung dengan tindakan absurd Clara.

"Biar bau telunjuk gue ada di badan lo juga. So, Mbak Kun juga ngikut ke lo. Impas, kan?" jelas Clara sembari tersenyum penuh kemenangan.

"Nggak jelas banget lo berdua." itu Saga. Viola yang ada di samping Saga pun hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Kiki ganteng, Kiki diem," timpal Kiki tiba-tiba.

"Lo juga nggak jelas, Ki. Tumben amat muji diri sendiri," ucap Clara dengan merapikan poninya setelah mengambil kaca mini di dalam tas.

Saga menarik Viola ke tempat lain yang sedikit jauh dari teman-temannya. Ia bermaksud membicarakan perihal tugas kelompok.

"Gue emang ganteng. Cerdas juga, idaman, kan, gue?"

"Aduh, mendadak gue amnesia lo itu siapa, deh?"

Baru saja Kiki akan menjawab, dengan tidak manusiawinya Ravel menyenggol lengan Clara dan mengakibatkan kaca itu jatuh lalu pecah.

'Mampus, karma, hahaha,' batin Kiki.

"Kaca gue!! Ravel gelo banget sumpah! Gue nggak mau tau, lo harus ganti kaca make up gue!" tagih Clara dengan napas yang memburu.

Sepertinya gadis itu tengah dirundung amarah. Dipungutinya pecahan kacanya dengan tisu agar tak melukai jari-jarinya.

"Buset, ganteng gini masa gelo. Buta lo?" ucap Ravel sembari tertawa kecil.

Viola dan Saga yang sebelumnya mengobrol soal kerja kelompok pun menengok ke arah Clara dan berjalan mendekati ketiga sahabat mereka.

"Ada apa, sih?" tanya Viola.

"Kaca gue dipecahin Ravel, Vi!" adu Clara pada Viola. Viola melihat pecahan kaca yang ada di dekat sepatu Clara.

"Ya udah, sih. Besok beli lagi."

"T-tapi, gue ma-"

Dering handphone milik Clara terdengar. Dengan cepat, ia menjawab panggilan masuk itu yang ternyata dari Mamanya.

"Halo, Ma?" ucap Clara Malas. Teman-temannya ikut menyimak.

[ .... ]

"Iya-iya, Clara otw pulang. Bye, Ma." Panggilan pun terputus.

"Gue pulang duluan, ya. Nyokap nyariin, nih. Besok, lo harus ganti kaca make up gue!" tunjuk Clara pada Ravel yang tengah tertawa lepas seakan tidak ada beban.

Clara tak menghiraukan tertawaan Ravel, ia segera pulang. Baru saja berjalan tiga langkah, seseorang menabraknya dari belakang. Untung saja Clara dapat menyeimbangkan tubuhnya agar tidak terjatuh.

"Eh, lo hati-hati dong!" teriak Clara pada orang yang sudah menabraknya, tapi orang itu sudah berlalu dengan cepat tanpa menoleh sedikit pun pada Clara.

Viola menghampiri Clara. "Lo nggak apa-apa?" Clara pun menggeleng sebagai jawaban.

Ravel, Kiki, dan Saga hanya diam menyaksikan kejadian tersebut.

"Dasar hybrid," gumam seseorang.

"Dasar hybrid," gumam seseorang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


DEATH MELODYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang