(3)

12.8K 1.1K 26
                                    

"Irasshai mase!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Irasshai mase!"

Dua orang pelayan yang berjaga di depan restoran berteriak lantang sebagai tanda ada tamu yang baru datang. Entah kenapa, kepala ini refleks menoleh. Sebuah keluarga kecil yang tampak begitu ideal masuk restoran. Posisi meja yang menghadap langsung ke arah pintu membuatku tak sengaja bertatapan dengan sosok ayah dalam keluarga itu. Mas Mirza.

Enam bulan lalu dia pindah ke unit lain. Entah aku harus bersyukur atau justru menyesalinya. Kepindahannya tentu membuatku tak perlu bingung dan sibuk bersandiwara setiap hari seperti dulu. Akan tetapi, hal itu juga membuat dirinya semakin tidak terjangkau olehku. Jika boleh jujur, sebagian hatiku masih merindukannya, meski sebagian yang lain membencinya setengah mati. Tidak masuk akal, kan? Bagaimana bisa aku menyayangi sekaligus membencinya seperti ini? Sepertinya, memang benar kata orang-orang, rasa cinta dan benci itu sangat tipis perbedaannya.

Masih belum dapat kulupakan, bagaimana satu setengah tahun lalu dia sempat memintaku menunggunya. Sekarang, dia seolah lupa akan keberadaanku. Lihatlah dia sekarang, senyumnya begitu lebar dengan bayi dalam gendongan. Perempuan itu menggelayut mesra di lengannya sambil berbicara pada pelayan di pintu masuk. Kudengar anak dan istrinya memang ikut pindah ke Jakarta sejak bulan lalu. Artinya, kini mereka telah menjadi keluarga bahagia dan sempurna, seperti yang diidam-idamkan banyak orang. Sedangkan aku? Aku masih berkutat dengan serpihan-serpihan hati yang remuk.

Rasa nyeri kembali memenuhi dadaku. Luka yang memang belum benar-benar sembuh itu kembali berdarah ketika Mas Mirza berpura-pura tidak menyadari kehadiranku. Jelas sekali dia melihatku. Kami sempat bersitatap tadi. Namun, dia melewati mejaku tanpa menoleh sedikit pun, tanpa berbasa-basi menyapa, atau bahkan sekadar tersenyum dan mengangguk sopan ke arahku. Kami benar-benar seperti orang asing yang tidak pernah bertemu sebelumnya.

Segala duka yang kupendam satu setengah tahun terakhir kembali menyeruak ke permukaan. Aku merasa semua ini tidak adil. Kalau dia ingin menikah, langsung menikah saja. Untuk apa dia sore itu datang ke kosan untuk berjanji akan kembali padaku setelah istrinya melahirkan? Lebih baik dia pura-pura tidak pernah jatuh cinta kepadaku agar aku tidak perlu terus mengharap-harap cintanya.

Sebenarnya aku salah apa? Kenapa dia menghukumku seperti ini? Jika memang dia tidak bisa berjuang agar kami dapat bersama, untuk apa dulu dia datang menemuiku dan memintaku menunggunya? Mungkin aku akan lebih cepat move on jika sore itu dia tidak pernah datang ke kosanku dan mengungkapkan perasaannya kepadaku. Mungkin akan lebih mudah bagiku jika aku menganggap cintaku hanya bertepuk sebelah tangan.

Apa kamu mau menungguku, Lail? Setidaknya sampai anak itu lahir. Setelah itu aku akan menceraikan Jana dan kembali ke kamu. Itu pun kalau kamu masih mau menerimaku lagi.

Semua itu omong kosong. Dasar Mas Mirza pembohong!

Ingin sekali aku berteriak memakinya. Akan tetapi, akal sehatku masih bekerja. Aku hanya akan mempermalukan diriku sendiri jika melakukannya. Lagipula, aku pun sudah menerima kenyataan bahwa dia memang bukan jodohku. Aku sama sekali tidak ada niat untuk merebutnya dari wanita itu. Hanya saja, ada satu hal yang mengganjal hatiku. Tidak bisakah dia bersikap biasa sepertiku? Haruskah dia bersikap seolah tidak mengenalku? Apakah kenangan yang kami lalui bersama dulu memang sudah tidak berarti lagi baginya?

Rebound Love (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang