(15)

9.9K 900 38
                                    

Kupikir Mas Mirza hanya akan mengajak makan di kantin belakang kantor, ternyata dia justru mengajakku berjalan lebih jauh ke restoran yang dulu sering kami kunjungi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kupikir Mas Mirza hanya akan mengajak makan di kantin belakang kantor, ternyata dia justru mengajakku berjalan lebih jauh ke restoran yang dulu sering kami kunjungi.

"Mas beneran ada rapat di lantai lima?" tanyaku dengan pandangan menyelidik ketika kami telah memesan minum. "Bukan cuma sekedar cari alasan buat mampir ke kantor, kan?"

Dia menyimpul senyum sembari mengangguk pelan. Aku buru-buru memalingkan muka supaya tidak tenggelam dalam sorot mata teduhnya yang dulu kerap membuat betah berlama-lama memandang.

"Aku beneran ada rapat, kok. Tapi aku memang pingin ketemu kamu, Lail. Sudah lama kita nggak ngobrol berdua kayak gini," jawabnya. Nada bicaranya terdengar lembut, seperti bagaimana dulu dia berbicara kepadaku.

"Kalau cuma mau ngobrol, enggak perlu sampai begini, Mas. Kita kan bisa ngobrol di kantor tadi. Atau lewat telepon juga bisa." Aku masih enggan menatapnya, khawatir hatiku akan goyah. Mungkin seharusnya tadi aku bersikeras menolak ajakan Mas Mirza. Makan siang berdua di restoran favorit kami ini berhasil membuat otakku memutar kembali kenangan-kenangan lama.

"Nggak mungkin ngomongin hal ini lewat telepon, Lail. Aku mesti lihat dengan mata kepala sendiri, untuk memastikan bahwa kamu jujur saat menjawab pertanyaanku."

Aku menyibukkan diri dengan memperhatikan meja-meja lain, berusaha terlihat tidak penasaran pada apa yang ingin Mas Mirza ungkapkan. Hatiku terus merapal doa semoga apa pun yang akan Mas Mirza ceritakan tidak ada hubungannya dengan masa lalu kami. Sudah susah payah aku berusaha melupakannya. Aku tidak ingin terjebak dengan perasaan bimbang yang tidak berkesudahan itu lagi.

Bukannya segera melontarkan pertanyaannya, Mas Mirza justru berkata, "Kita makan dulu, Lail."

Sepiring capcay seafood telah tersaji di hadapanku, tetapi nafsu makanku sudah menguap.

"Makanlah, Lail. Kamu kelihatan kurusan. Beratmu turun?"

Pertanyaan Mas Mirza berhasil memancingku menoleh kembali ke arahnya. Kulemparkan tatapan penuh amarah kepada lelaki itu.

"Mas. Nggak perlu basa-basi dengan sok perhatian kayak gini. Langsung to the point saja," desisku, berusaha menahan diri agar tidak terlalu kentara menumpahkan kekesalan kepadanya. Aku tidak ingin menarik perhatian pengunjung lain.

Mas Mirza meletakkan kembali sendok dan garpu yang dipegangnya. Kesedihan terpancar dari kedua matanya. "Aku kangen dengar ocehanmu, Lail. Aku kangen kita makan berdua begini, bebas ngobrolin apa saja. Aku kangen sama kita yang dulu, Lail."

Tenggorokanku mendadak terasa begitu kering. Ingin sekali aku kembali mengalihkan pandangan agar tidak perlu melihat raut wajah Mas Mirza, tetapi tatap matanya seolah mengunciku.

"Bukannya Mas Mirza yang memutuskan menjauh. Bersikap seolah kita nggak pernah temenan sebelumnya, seolah ...," aku menelan ludah sebelum lanjut berucap, "seolah sore itu Mas Mirza nggak pernah datang ke kosanku dan bilang menyukaiku."

Rebound Love (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang