(36)

10K 856 27
                                    

Sesampainya di rumah, aku langsung mengurung diri di kamar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sesampainya di rumah, aku langsung mengurung diri di kamar. Kubenamkan wajah di bantal agar suara isakanku tidak bocor keluar. Dadaku terasa begitu sempit, penuh dengan berbagai emosi yang saling tumpang tindih. Sepanjang perjalanan pulang tadi, kami sama-sama terdiam. Melanjutkan pembicaraan hanya akan memicu pertengkaran baru. Raf pun tampaknya menyadari hal itu.

Setelah tangisku sedikit reda, aku duduk di atas tempat tidur sambil memeluk lutut. Ponselku tergeletak di kasur, hanya beberapa senti dari ujung kakiku. Saat layarnya meredup, aku akan menyentuhnya lagi agar dapat kembali membaca pesan-pesan yang pernah Raf kirimkan kepadaku.

Sesungguhnya, aku ingin mempercayai Raf. Segala perasaan curiga ini benar-benar membuatku lelah. Namun, selalu ada suara yang berbisik di kepalaku, memanas-manasiku dengan skenario-skenario buruk yang meruntuhkan rasa percayaku kepada Raf, membuatku kembali menarik diri dan menutup pintu hati.

Aku sadar, sikapku sungguh kekanak-kanakan. Seharusnya, seperti yang disarankan Raf, kami dapat berbicara baik-baik untuk mengurai kesalahpahaman yang terjadi. Akan tetapi, setiap kali aku teringat Thea, amarahku pun meledak, lalu kata-kata tajam meluncur dari mulutku begitu saja, tidak mampu kukendalikan. Setelah itu, barulah aku menyesal seperti sekarang dan terlalu malu untuk meminta maaf.

Andai saja perutku tidak memberontak, ingin rasanya aku mengurung diri di kamar sampai subuh besok. Tenggorokanku pun terasa kering, sementara botol minum yang kusimpan di kamar telah kosong. Mau tidak mau, aku harus keluar kamar. Tidak mungkin aku bisa tidur dengan perut keroncongan. Semoga saja, Raf telah tertidur di kamar sebelah. Aku tidak ingin dia melihat mataku yang bengkak dan penampilanku yang berantakan ini.

Sayang sekali, harapanku tidak terkabul. Ketika aku membuka pintu kamar, Raf tengah duduk dalam kegelapan ruang tamu kami. Hanya ada cahaya televisi yang menjadi penerang, berpendar-pendar tanpa suara. Dia menoleh sekilas kepadaku, lalu kembali menatap ke arah televisi.

"Di meja makan ada pizza kalau lo mau makan," katanya dengan suara lirih dan tidak bersemangat. Sehabis memberi tahuku, dia tidak berbicara apa-apa lagi dan balik menonton tayangan sinetron yang aku tahu tidak dia suka. Kurasa, Raf tidak sedang benar-benar menonton televisi. Pikirannya entah sedang melayang ke mana.

Aku hendak menyahut, tapi tidak ada suara yang keluar dari bibirku. Rasanya, tenggorokanku tersekat bersamaan dengan dada yang tiba-tiba terasa sesak. Penampilan Raf tidak kalah berantakannya dariku. Tiba-tiba saja, aku merasa bersalah. Harusnya, aku dapat bersikap lebih lunak kepadanya. Bagaimanapun juga, Raf tidak berhenti berusaha untuk menambal retakan-retakan yang menjalar dalam rumah tangga kami.

Setelah mencuci muka di kamar mandi, aku membuka tudung saji di atas meja makan. Seperti kata Raf, kutemukan kotak pizza di sana. Aroma kuat keju langsung tercium begitu aku mengangkat tutup kotak. Triple cheese. Rasa favoritku. Namun, entah kenapa aroma itu justru membuatku merasa mual. Rasanya seperti ada ombak besar yang tengah menerjang isi perutku.Bergulung-gulung dan mendesak naik ke kerongkongan.

Rebound Love (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang