(4)

12.4K 1K 19
                                    

Raf mengajakku ngobrol berbagai macam hal

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Raf mengajakku ngobrol berbagai macam hal. Dia menanyakan kabar Mama, kesibukanku sehari-hari. Mungkin karena pembawaannya yang supel dan ramah, aku merasa nyaman berbicara dengannya. Sepanjang kami mengobrol, tidak sekali pun dia memainkan ponsel. Mata cokelatnya itu terus berbinar menatapku. Raf juga merespons setiap ceritaku dengan penuh antusias. Dari cara Raf memperlakukanku, sepertinya orang lain akan dengan mudahnya percaya bahwa kami adalah sepasang kekasih.

"Lo seriusan enggak mau?" tanya Raf sambil mengerling pada tiga tusuk yakitori—sate ayam khas Jepang—yang tersisa di meja.

Aku menggeleng. "Kenyang. Memangnya kamu enggak kenyang makan sebegitu banyak dari tadi?" tanyaku heran.

Pemuda itu telah menghabiskan semangkuk udon dan sepiring nasi kare. Beberapa potong tempura juga raib ke dalam perutnya. Untung saja tadi Raf bilang aku tak perlu mentraktirnya. Kalau dihitung-hitung lumayan juga harga makanan yang harus dibayar.

"Kamu itu doyan apa kelaparan sih?" ledekku ketika melihat caranya mencabik daging ayam dari tusukan bambu yang dia pegang. Tingkahnya berhasil memancing tawaku. Untuk sejenak, aku lupa bahwa beberapa meja dari kami ada Mas Mirza yang sedang mengawasi.

"Dua-duanya. Gue baru inget kalau belum makan malam juga, terus kemarin siang juga cuma makan mie instan." Dia meneguk segelas ocha dingin untuk mendorong makanan ke perut. "Kemarin gue lagi maraton latihan buat persiapan turnamen bulan depan."

"Turnamen? Kamu atlet?" Mataku bergerak naik turun mengamati pemuda bepenampilan kasual di seberang meja. Meski tubuhnya cukup tinggi dan tegap, sungguh tidak ada tanda-tanda dia rajin berolahraga.

"Lo enggak kenal gue?" Dia malah balik bertanya.

Dih, memang dia siapa sih? Sok kepedean!

"Kita kan baru ketemu. Gimana mau kenal."

"Kemarin lo enggak googling nama gue dulu gitu?"

Tatapan itu lagi! Dia memandangiku seolah aku ini orang aneh, padahal yang aneh itu dia.

"Buat apa? Kan aku cuma mau ambil paket titipan Tante Mira aja."

Gerakan tangannya berhenti. Dia menggaruk kepala dengan gugup.

"Ya ampun. Titipan Umma malah ketinggalan di apartemen," ujarnya dengan suara tertahan.

"Sorry. Tadi bangun-bangun sudah jam dua belas lewat. Gue buru-buru salat dan langsung ke sini. Titipan Umma malah enggak kebawa." Dia terkekeh. Entah apakah permintaan maaf memiliki arti baginya. Wajahnya sama sekali tidak menunjukkan rasa bersalah.

Kini giliranku yang menatap seolah dia alien dari galaksi antah berantah. Bukankah inti dari pertemuan ini adalah untuk menyerahkan bingkisan yang disiapkan Tante Mira untuk mamaku? Jika bingkisannya tidak dia bawa, untuk apa kami bertemu seperti ini?

"Nanti habis dari sini, kita mampir dulu ke apartemen, habis itu lo gue anter ke kosan."

"Kalau begitu mending dari tadi aku langsung ambil saja ke apartemenmu. Atau aku suruh kurir buat ambil. Ngapain kita ketemuan di sini?" Kusemburkan kekesalan kepadanya.

Rebound Love (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang