(37)

11.1K 951 30
                                    

Suara derit pintu merasuk ke alam bawah sadarku, lalu menarikku bangun seketika

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Suara derit pintu merasuk ke alam bawah sadarku, lalu menarikku bangun seketika. Mataku mengerjap, berusaha menyesuaikan dengan cahaya lampu ruang tamu. Rupanya, aku tertidur di sofa.

"Kok, lo tidur di sini?" tanya Raf. Tubuhnya telah menjulang di hadapanku. Denting suara logam terdengar saat dia meletakkan kunci motor di atas cawan kuningan tempat kami menyimpan anak-anak kunci.

Aku mengerucutkan bibir. Bisa-bisanya dia bertanya kenapa aku tidur di ruang tamu tanpa merasa bersalah. Andaikan tidak teringat pada alasanku menanti kepulangannya, tentu sudah kusemburkan omelan kepada Raf.

"Malem banget pulangnya?" Aku justru balas bertanya. Kukucek mata yang masih terasa lengket sambil menurunkan kaki dari atas sofa.

"Sorry, tadi habis bahas strategi malah keterusan ngobrol. Kenapa? Lo belum makan? Mau gue beliin?" Raf masih berdiri. Kedua manik matanya membiaskan keraguan. Kelihatannya, dia masih tidak yakin apakah akan turut duduk di sofa bersamaku atau tidak.

Gerak-gerik Raf yang tampak sangat berhati-hati membuatku kembali dihantui perasaan bersalah dan teringat betapa menyebalkannya sikapku belakangan ini. Akhir-akhir ini, aku memang bisa disamakan dengan sebuah bom yang siap meledak kapan pun.

"Aku sudah makan martabak tadi. Itu masih ada di meja makan kalau kamu mau," jawabku. Karena Raf masih tidak menyahut, aku pun menjelaskan alasanku menunggunya pulang,"Sebenarnya ada yang mau kubicarain sama kamu. Tapi, kalau kamu mau cepat istirahat, kita bisa ngobrol besok aja."

Ekspresi Raf masih menunjukkan rasa heran, tapi akhirnya dia duduk juga. Sorot matanya pun masih terlihat siaga Mungkin di pikiran Raf, aku seperti laut yang kelewat tenang, bisa jadi sebentar lagi ada badai yang sudah siap-siap mengamuk.

Tingkah Raf membuatku geli. Seulas senyum tipis sempat terbit di bibirku, tapi segera kuhapus begitu teringat topik serius yang ingin kubicarakan dengan Raf.

"Gue belum ngantuk, kok. Jadi, apa yang mau lo bicarain?" Raf memperbaiki posisi duduknya. "Tapi, please, Lail. Jangan ngajak berantem lagi. Let's forget the past and start over." Dia memasang wajah memelas.

Aku mendesah. Kutundukkan kepala sembari mengusap wajah. Apa di mata Raf sekarang aku benar-benar telah berubah menjadi sosok istri cerewet yang selalu marah-marah? Mulutku telah setengah membuka untuk memprotes, tapi segera kututup lagi saat tersadar bahwa memang seperti itulah sikapku akhir-akhir ini. Mood-ku cepat sekali berubah. Sebentar senang, sebentar kemudian merasa menjadi orang paling menderita, lalu Raf akan menjadi kambing hitam untuk segala hal yang terasa salah di hidupku.

Ah, tapi memang Raf juga ada andil. Dia yang menyebabkanku menjadi seperti ini. Kurasa, dia pantas menerima konsekuensinya.

"Jadi, lo mau ngomong apa? Kok malah diam?"

Aku mengangkat kepala dan balas menatap wajah Raf. Sepasang mata cokelat itu memerangkapku. Sudah lama sekali aku tidak menyelaminya.

Awalnya, hanya ada sepercik api di dadaku, lalu nyalanya merambat ke seluruh bagian tubuhku. Menyebarkan perasaan hangat yang memberikan ketenangan dan rasa aman.

Rebound Love (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang