(7)

10.8K 922 35
                                    

Jika saja bukan karena gerah, aku pasti memilih untuk tidur sampai sore

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jika saja bukan karena gerah, aku pasti memilih untuk tidur sampai sore. Saat cuti begini adalah waktu yang tepat untuk membayar utang tidur sekaligus menabung untuk menghadapi jadwal lembur akhir tahun. Yah, aku tahu sih memang bukan begitu konsep sebenarnya. Mau sebanyak apa pun tidur, tetap saja tidak bisa menggantikan jatah tidur yang sudah lewat atau pun menjadi cadangan di masa depan. Tapi kurasa, para pekerja kantoran seperti aku juga berpikiran sama. Cuti adalah saat yang tepat untuk bermalas-malasan.

Sayangnya, entah bagaimana ceritanya, kipas angin di kamarku mati. Tentu saja aku curiga ini ulah Mama yang sudah kehabisan cara untuk membuatku bangun.

Dengan berat hati, aku bangkit dari kasur. Gara-gara sudah telanjur bangun, kini aku juga merasa lapar.

"Terus, kata dokter gimana?"

Sayup-sayup kudengar suara Mama di teras. Aku mengintip ke depan. Hanya kutemukan Mama di sana. Ternyata Mama sedang berbicara dengan seseorang melalui panggilan telepon.

Baru saja aku hendak melangkah untuk kembali masuk, Mama keburu memanggilku.

"Oh, ini Lail sudah bangun. Sini dulu, Lail."

Aku menatap Mama dengan curiga. Untuk apa Mama memanggilku?

"Kamu belum kenalan sama Tante Mira, kan? Sini dulu, sapa Tante Mira sebentar." Mama mengedikkan kepala ke samping sambil tersenyum mengancam. Ketika aku berusaha menolak, Mama justru mendelik kepadaku.

Aku tidak punya pilihan lain. Terpaksa aku mendekat ke Mama agar dapat menyapa wanita yang wajahnya muncul di layar ponsel Mama.

"Assalamualaikum, Lail. Apa kabar? Sehat, kan?" Tante Mira justru menyapaku lebih dulu. Setahuku Tante Mira sebaya dengan Mama, tetapi wanita yang kulihat tampak beberapa tahun lebih tua. Mungkin karena beliau terlampau kurus, keriput di wajahnya jadi terlihat lebih banyak. Walaupun begitu, Tante Mira masih terlihat cantik. Matanya yang bundar dan lentik, juga hidungnya yang mancung sangat mirip Raf. Khas keturunan timur tengah.

"Alhamdulillah, baik, Tante. Tante apa kabar?"

Pertanyaanku memang sungguh tidak kreatif, tapi aku tidak terpikir pertanyaan atau kalimat lain yang dapat kugunakan untuk membalas keramahan Tante Mira.

"Raf. Ini ada Lail. Kamu enggak mau nyapa dia?"

Aku membelalak ketika Tante Mira menggeser ponselnya. Kamera kini menyorot Raf yang sedang berkutat dengan gadget-nya. Dari gerakan jari-jarinya yang cepat, kutebak lelaki itu sedang asyik bermain game.

"Nanti Raf WA Lail langsung aja, Umma." Raf melirik sekilas ke arah kamera, lalu kembali fokus pada gadget yang sedang dia pegang.

"Ck. Kamu ini kalau sudah nge-game beneran enggak bisa diganggu ya," omel Tante Mira. Tidak lama kemudian, kamera ponsel kembali menyorot wajahnya. Kini dia tersenyum dan lanjut berbicara kepadaku. "Maaf ya, Lail. Raf emang gitu kalau lagi ngegame."

Rebound Love (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang