(14)

9.6K 883 16
                                    

"Bentar, Lail

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Bentar, Lail. Gue masih latihan. Nanti, gue mampir ke kosan lo buat jelasin. Nggak enak ngobrol di telepon."

Raf langsung mematikan sambungan telepon ketika aku menghubunginya. Benar-benar tidak sopan. Menyebalkan. Rasa kesal yang sudah siap kumuntahkan terpaksa aku telan lagi. Hal itu membuatku semakin uring-uringan.

Buru-buru kupencet tombol power untuk mematikan layar ponsel dan melemparkannya ke atas kasur. Entah siapa yang iseng merekamku dan Raf saar menghadiri pesta pernikahan Maya Angela lalu mengunggahnya ke aku gosip.

Kuambil kembali ponsel dan mulai mengetik pesan untuk Raf, memintanya tidak perlu menjemputku. Lebih baik, kami bertemu di luar saja.

-amela-

Sudah lewat sepuluh menit dari waktu yang kami sepakati, batang hidung Raf belum terlihat juga. Pada pertemuan pertama kami pun dia membuatku menunggu hampir setengah jam. Apa Raf tidak punya jam atau alat penunjuk waktu? Terlambat kok dijadikan kebiasaan. 

Sejak bertemu dengannya, aku jadi mudah merasa kesal. Mungkin aku harus memeriksakan kesehatan, siapa tahu aku terkena darah tinggi gara-gara tingkah Raf.

Sorry, Lail. Gue telat.”

Aku mendongak. Seringai lebar Raf sungguh tidak konsisten dengan permintaan maafnya. Sama sekali tidak tersirat tanda penyesalan di wajahnya.

Rambut panjangnya dicepol di belakang kepala layaknya seorang samurai. Lengan kemeja kotak-kotak yang dia kenakan digulung hingga ke atas siku. Harus kuakui penampilannya hari ini cukup modis, tidak berantakan seperti pertemuan pertama kami, tetapi juga tidak berlebihan seperti saat kondangan kemarin.

“Hari ini apa alasan kamu?” semburku begitu berhasil menelan suapan terakhir.

“Macet, Lail. Gue tadi sudah langsung berangkat ke sini habis latihan. Serius.” Raf menarik kursi dan duduk di seberangku, lalu tanpa permisi mencomot kentang goreng dari piringku.

Aku memutar bola mata. Tanpa menanggapi penjelasannya, aku bangkit dari kursi dan berjalan menuju wastafel untuk mencuci tangan.

Begitu aku kembali ke meja, kentang goreng itu hanya tersisa beberapa potong. 

"Sorry, gue laper," terang Raf sambil mengusap bibirnya dengan jari.

"Pesan nasi sekalian sana," ujarku ketus.

"Oke. Tunggu bentar, ya."

Aku mendengkus. Padahal barusan aku hanya  menyindirnya, tetapi Raf benar-benar pergi meninggalkanku untuk memesan makanan. Sepertinya memang percuma membuat Raf merasa bersalah karena telah datang terlambat, pun karena nyaris menghabiskan makananku. Dia pikir dengan meminta maaf semua urusan sudah selesai.

Tidak sampai sepuluh menit kemudian, Raf kembali duduk di hadapanku dengan segelas minuman bersoda dan seporsi nasi. Dia menyesap minumannya dengan cepat sebelum mulai berbicara.

Rebound Love (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang