(9)

10.2K 967 16
                                    

Tanganku tak henti menggores pena di atas lembar-lembar kertas yang tidak ada habisnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tanganku tak henti menggores pena di atas lembar-lembar kertas yang tidak ada habisnya. Bunyi detak jam seolah mengatur tempo gerakanku. Paraf. Sisihkan. Paraf. Sisihkan. Sepertinya aku sudah memaraf beratus-ratus lembar kertas, tapi tumpukan di hadapanku terasa tidak berkurang sedikit pun.

"Lail! Cepat selesaikan!" teriak Pak Anto sambil berkacak pinggang di depan mejaku. Aku menatap heran kepada pria itu. Selama menjadi atasanku, Pak Anto tidak pernah marah sekali pun. Lalu, kenapa sekarang beliau berteriak-teriak seperti orang kesetanan?

"Lail! Jangan melamun! Ayo teruskan kerjanya!"

Aku mempercepat gerakan tanganku. Entah dokumen apa yang sedang kuperiksa. Aku bahkan tidak mengingatnya sedikit pun.

Sebentar. Bukannya sekarang hari Sabtu? Kenapa aku berada di kantor?

Di tengah kebingunganku, tiba-tiba saja Pak Anto menyanyikan lagu Maliq & D'essentials. Kertas-kertas di hadapanku mendadak beterbangan dan sekelilingku berubah menjadi hitam-putih. Beberapa detik kemudian, kurasakan diriku terhisap ke langit-langit ruangan. Di saat itulah aku sadar bahwa aku sedang bermimpi.

Aku mengerjapkan mata beberapa kali, berusaha membiasakan diri dengan cahaya terang yang masuk melalui jendela kamarku. Setelah kesadaranku sepenuhnya kembali, kujulurkan tangan ke samping, meraba-raba sisi tempat tidur yang kosong untuk mencari ponsel.

'Raf Assegaf'

Nama itu berkedip di layar ponselku. Mau apa lagi dia? Setelah mengantarkanku pulang tempo hari, Raf menghilang tanpa kabar berita. Bukan berarti aku ingin bertemu dengannya, tapi dia, kan, memintaku untuk menjadi teman kondangannya. Setidaknya beri tahu aku acaranya kapan, di mana, dan baju apa yang harus kupakai.

Dengan suara sedikit parau, aku menjawab salamnya. "Ada apa, Raf?" tanyaku sambil menghela tubuh ke posisi duduk.

"Lo baru bangun, Lail?" Bukannya menjawab, dia justru balik bertanya. Aku dapat mendengar deru mesin melalui telepon, pun suara klakson yang bersahut-sahutan. Tampaknya Raf menelepon sambil menyetir.

"Bukan urusanmu, Raf!" Baru saja bicara, pemuda itu sudah membuat kesal.

"Jangan-jangan lo juga belum mandi?"

Kubayangkan dia sedang tersenyum meremehkan saat mengucapkan tuduhannya itu. Ini kan akhir pekan. Lagian, apa pedulinya aku sudah mandi atau belum?

"Sudah kubilang. Bukan urusanmu!"

Meski kecurigaannya benar aku enggan mengiakan. Namun tetap saja aku bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju ke kamar mandi. Kubasahi tangan dengan air lalu mengusapkannya ke wajah.

"Urusan gue lah. Soalnya gue lagi on the way ke kosan lo."

Aku terdiam selama beberapa detik. Otakku masih berusaha mencerna maksud perkataan lelaki menyebalkan itu. Untuk apa dia ke sini?

Rebound Love (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang