(13)

9.9K 910 31
                                    

Mata Vania mengerjap cepat, seakan mengisyaratkan bahwa perempuan itu masih menunggu jawaban dariku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mata Vania mengerjap cepat, seakan mengisyaratkan bahwa perempuan itu masih menunggu jawaban dariku.

“Rekan kerjanya Lail ya, Mbak? Perkenalkan saya Raf, pacar Lail.” Raf menjulurkan tangan untuk mengajak Vania bersalaman.

Perhatian wanita itu pun teralihkan. Dia tidak bertanya-tanya lagi alasan kami datang ke toko perhiasan. Setelah berbasa-basi sebentar, aku dan Raf segera kabur meninggalkan teman sekantor Mas Mirza itu.

“Jangan bengong kayak tadi gitu dong. Biar enggak bikin curiga,” tegur Raf dalam perjalanan pulang.

“Ya masak aku ngenalin kamu sebagai pacarku ke semua orang sih?” protesku dengan bersungut-sungut.

“Konsekuensi dari keputusan lo waktu itu," sindir Raf. Meski aku tidak sedang menoleh kepadanya, dapat kubayangkan satu sudut bibirnya tertarik ke atas membentuk seringai sinis yang sudah menjadi ciri khasnya.

“Mirza itu cowok yang ‘bukan mantan pacar lo’ itu kan? Kalau lo masih pingin pura-pura punya pacar di depannya, ya mestinya lo bisa milah di depan siapa saja lo harus terus pura-pura.” Raf lanjut menceramahiku. “Lagian ada cerita apa sih antara lo dengan cowok itu? Lo ditinggal kawin ya?”

Kuhujamkan pandangan pada Raf. “Bukan urusan kamu, Raf!”

Tawa Raf memperburuk suasana hatiku. Bisa-bisanya aku sempat berubah pikiran tentangnya. Sikap manis Raf minggu lalu berhasil menipuku. Sempat terpikir olehku bahwa lanjut berteman dengan Raf bukanlah pilihan yang buruk. Namun sekarang, aku mulai menyesali keputusan itu.

“Gue cuma penasaran. Soalnya lo pasti sewot tiap kali dengar nama si Mirza. Lo masih belum move on, ya?”

Aku menatapnya sinis “Kamu enggak berhak ngeledek aku. Kamu sendiri belum move on dari Maya!”

Pemuda berhidung bangir itu tersenyum kecut. “Gue sudah move on dari Maya.  Benar-benar enggak ada perasaan suka yang tertinggal buat dia, kok."

"Kalau sudah move on, ngapain mesti minta aku pura-pura jadi pacar kamu di pesta kemarin?" tanyaku dengan nada tinggi. Emosiku makin tersulut karena kata-kata Raf barusan. Hal yang dia tuduhkan memang benar, tetapi aku enggan mengakuinya.

"Ya, gue malas aja datang kondangan sendiri. Nanti, banyak yang kepo dan tanya macam-macam kayak lo gini."

"Kalau gitu, nggak usah datang aja. Gampang, kan? Ngapain juga datang ke nikahan mantan?" cecarku tak mau kalah. Aku masih belum berhasil meredakan amarah. Kualihkan pandangan ke luar jendela supaya tidak perlu melihat wajah menyebalkan Raf. 

"Biar gue ada alasan ngajak lo keluar." Raf mengatakannya dengan begitu santai. Tanpa beban. Namun, kalimatnya itu berhasil membungkamku.

Aku tahu aku tidak bisa percaya begitu saja pada Raf. Bisa jadi, dia hanya sedang menggodaku. Ya, dia pasti sedang menggodaku, seperti sebelum-sebelumnya. 

Rebound Love (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang