(8)

9.9K 962 27
                                    

"Ambil barangmu sana! Aku tunggu di sini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Ambil barangmu sana! Aku tunggu di sini. Biar kuantar pulang."

"Enggak usah repot-repot, Mas. Aku bisa pulang sendiri," tolakku mentah-mentah. "Lagian, anak dan istri Mas Mirza pasti sudah nungguin di rumah."

Raut muka Mas Mirza berubah sendu. "Mereka sedang pulang ke Sukabumi," katanya lirih.

Apakah dia sedang ada masalah dengan istrinya? Bukan gara-gara pertemuan kami tempo hari, kan?

Ah, apa-apaan aku ini. Setelah apa yang dia lakukan kepadaku, sempat-sempatnya aku mengkhawatirkan Mas Mirza. Buru-buru kuusir rasa iba itu dari kepalaku. Sudah cukup aku membuang waktu untuknya. Bukankah aku sudah memutuskan untuk berhenti peduli kepadanya? Itu berarti, kondisi rumah tangganya bukan urusanku.

"Ayolah, Lail. Aku enggak ada maksud apa-apa, cuma khawatir kamu enggak dapat taksi. Lihat, jalanan sudah sepi begini." Mas Mirza terus berusaha membujuk.

"Raf enggak suka aku berboncengan dengan cowok lain." Aku berbohong.

Jujur saja, aku sempat tergoda menerima tawarannya, tapi akal sehatku buru-buru mencegah. Bagaimanapun Mas Mirza adalah seorang lelaki beristri. Dengan kisah kami di masa lalu, orang yang melihat kami berdua bisa saja berprasangka buruk. Aku tidak ingin timbul gosip tentang kami berdua.

"Kalau enggak suka, harusnya dia jemput kamu, Lail. Ini sudah kelewat malam. Cowok mana yang tega biarin pacarnya pulang malam-malam sendiri?"

Aku menatapnya berang. Ke mana saja dia selama ini? Kenapa baru sekarang dia menunjukkan perhatiannya lagi? Meski Raf bukan pacarku, entah kenapa aku tersinggung mendengar kata-kata Mas Mirza.

"Dan akan semakin malam kalau Mas terus mengajakku mengobrol di sini. Lagipula, mau Raf menjemputku atau enggak, sama sekali bukan urusan Mas Mirza!" Kumuntahkan kekesalan ke wajahnya. Untung saja parkiran telah sepi, tidak ada orang yang memperhatikan pertengkaran kami. "Sudah, Mas. Aku capek dan juga ingin segera pulang. Enggak usah mengkhawatirkan aku. Selama dua tahun ini, aku bisa jaga diri sendiri, kok."

"Oke. At least, biarin aku nemenin kamu sampai kamu dapat taksi."

Dering ponsel menyelamatkanku dari tatapan teduh Mas Mirza yang sempat membuatku goyah. Lagi-lagi, Raf hadir di saat yang tepat. Buru-buru kuangkat ponsel untuk menerima panggilan teleponnya.

"Halo, Raf. Iya, aku baru mau pulang. Rapatnya tadi ngaret banget," ujarku riang. Sengaja kukeraskan suara agar Mas Mirza mendengarnya.

Sekilas sempat kutangkap ekspresi kecewa di wajah Mas Mirza. Aku memanfaatkan momen ini untuk melambai dan buru-buru masuk gedung.

"Baru pulang? Wow. Gue pikir PNS kerjaannya santai. Jam lima bisa langsung pulang." Raf tertawa. "By the way, lo kesurupan apa? Tumben ramah begitu sama gue."

Aku mendengkus. "Jangan ge-er. Tadi, ada Mas Mirza," ketusku sambil mempercepat langkah menyusuri koridor kantorku yang telah gelap.

"Perlu gue jemput?"

Rebound Love (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang