(21)

8.6K 926 19
                                    

Entah sejak kapan, nama Raf selalu yang menjadi pertama kucari setiap kali memeriksa ponsel

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Entah sejak kapan, nama Raf selalu yang menjadi pertama kucari setiap kali memeriksa ponsel. Sudah seminggu dia pulang ke Bandung. Tante Mira sudah diperbolehkan pulang ke rumah, tetapi Raf memutuskan untuk tinggal beberapa hari lebih lama untuk menemani ibunya.

Raf rutin memberiku kabar, tetapi rasanya selalu kurang. Tiap kali meneleponku, dia hanya akan membahas hal-hal tidak penting seperti apakah aku sudah makan atau belum. Dia sama sekali belum menyinggung tentang pernikahan. Memang aku sendiri yang bilang untuk membahas hal itu ketika Raf telah kembali ke Jakarta, tapi tidakkah dia ingin memastikan apakah aku berubah pikiran atau tidak?

Aku meletakkan kembali ponselku di meja. Kuputuskan untuk batal mengirimkan pesan kepada Raf. Jangan sampai dia besar kepala karena aku terlalu sering menanyakan kabarnya.

"Lail."

Aku menoleh ke sumber suara. Farah telah menarik kursinya mendekat ke arahku.

"Kudengar, Mas Mirza jadi bercerai dengan istrinya," bisik Farah sambil menempelkan tangan ke pipinya.

Untuk sejenak, kurasakan jantungku berhenti berdetak. Sudah lama aku tidak mendengar nama itu. Sejak Raf memperingatkannya waktu itu, Mas Mirza benar-benar tidak menggangguku lagi. Aku berusaha bersikap tidak peduli dan pura-pura fokus mengetik notulensi rapat, walau sebenarnya telingaku menyimak perkataan Farah.

"Dengar-dengar juga, Mas Mirza sampai stres ngurus perceraiannya ini. Sampai harus konseling ke psikolog."

Aku melepaskan genggaman dari tetikus dan mendorong keyboard menjauh. Kutatap Farah dengan raut serius.

"Maksud kamu cerita semua ini ke aku, apaan, Far?" Aku membuang napas dengan cukup keras. Kulipat kedua tangan di depan dada sembari melayangkan tatapan sinis kepada kawanku itu.

Farah tampak salah tingkah. "Yah, cuma ngasih tahu aja. Soalnya kalian kan sempat dekat. Nggak mungkin kalau kamu nggak penasaran." Gadis itu memasang eskpresi bersalah. "Aku paham dengan kondisi kalian sekarang, memang nggak memungkinkan buat kamu dan Mas Mirza untuk sering ketemu. Apalagi, kamu sekarang juga sudah punya pacar. Tapi, mungkin kamu ingin tahu kabar Mas Mirza."

Aku melanjutkan mengetik. "Itu, kamu paham, Far. Aku sudah nggak ada urusan lagi sama Mas Mirza. Jadi, apapun yang terjadi sama dia, aku sudah nggak peduli."

Kupaksakan diri untuk tersenyum, meski kusadari sebenarnya seperti ada yang berderak patah di dadaku. Bahkan, diriku sendiri tidak yakin dengan apa yang baru saja kuucapkan. Benarkah aku tidak peduli lagi sama Mas Mirza? Lalu, kenapa aku ikut merasa sedih saat mengetahui kondisi yang menimpanya?

Untung saja pesan Raf hadir di saat yang tepat, berhasil mengalihkan pikiranku. Dia sudah kembali ke Jakarta dan mengajak bertemu sepulang kerja nanti.

"Syukurlah kalau kamu beneran sudah move on, Lail. Aku ikut senang," ujar Farah sebelum kembali ke mejanya.

Awalnya, aku tidak memedulikan perkataan Farah. Namun, lama-kelamaan pikiranku pun terusik. Kenapa Farah masih menganggapku tidak mampu melupakan Mas Mirza? Dulu, dia beberapa kali mengingatkanku untuk melupakan lelaki itu, tetapi kenapa sekarang dia justru sering menyinggung soal Mas Mirza saat berbicara denganku?

Rebound Love (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang