KEENAN : 5

10.8K 714 5
                                    

Aku berjalan menuju lapangan basket. Membidikkan lensa kameraku ke arah laki-laki campuran kelas 10 dan 11 yang sedang bermain basket.

"Keenan!" Arga menghampiriku dengan kaos basketnya yang sudah basah kuyup dengan keringat. Rambut ikalnya tertimpa sinar matahari sehingga tampak kecokelatan. Warna kulitnya yang tidak begitu putih tampak mengkilat.

Melihat Arga, otakku seperti memutar kembali kejadian tempo hari.

"Ihhh ogah!"

Aku mengenal pekikan itu. Aku menoleh ke arah gadis gila yang sedang berbicara dengan Arga. Aku memerhatikan mereka berdua. Aku seperti melihat pancaran yang berbeda dari mata Arga, matanya tidak kekanak-kanakan lagi. Ia tampak lebih lembut, penuh harapan.

Mataku beralih ke gadis gila itu. Ia tampak cuek. Sangat cuek. Dan tampaknya hal itu membuat Arga sedih.

Tak lama kemudian, aku mendengar bunyi klakson angkot disertai teriakan abang supir angkot. Farah segera pergi ke angkot itu, dan melambaikan tangannya ringan ke Arga.

Sampai angkot itu menghilang dari jangkauan matanya, ia tidak mengalihkan pandangannya. Sinar matanya meredup. Aku berjalan mendekatinya, sehingga Arga bisa melihatku. Ia tersenyum tipis. Ia menepuk punggungku.

"Sakit banget ya, Keenan."

Arga tidak pernah membahasnya lagi, dan aku tidak pernah mengerti yang ia katakan.

"Lo ngapain ngeliatin gue kayak gitu, huh? Naksir?" kata Arga. Ia mengambil botol minumnya di tas dan meneguknya pelan. Ia ikut duduk di sampingku di pinggir lapangan. "Berharapnya gue sih disamperin cewek, eh malah lo."

Aku tidak peduli dengan celoteh Arga yang tidak ada habisnya. Agak jauh dari lapangan, aku melihat dua gadis yang duduk di bawah pohon. Gadis gila berambut marun itu asyik menyeruput jus mangganya, sedangkan sahabatnya, asyik memakan siomaynya. Perlahan, aku membidikkan kameraku ke arah mereka.

"Woy lo liatin siapa, sih?" tanya Arga. Ia mengikuti arah lensaku. "Oh liatin Kanya?".

"Lo suka sama dia?" Aku menoleh ke Arga yang melontarkan pertanyaan itu barusan. "Suka?" aku hanya bisa menanggapi itu.

"Gapapa kali, Keenan, lagian kan Kanya itu baik, cantik, putih, kalem, manis lagi. Nggak heranlah kalo lo suka sama dia. Lagian kayaknya nih, Kanya suka sama lo." kata Arga sambil meninju bahuku.

Aku kembali memerhatikan kedua gadis itu. Gadis yang disebut Kanya itu tengah memerhatikanku. Pipinya merona merah dan ia tersenyum kecil.

"Untuk apa suka sama or..."

"Jangan-jangan lo gay lagi?!" Arga langsung menjauhkan posisi duduknya dariku. Ia memasang tampang menjijikkan.

"Huh?" Aku hanya bisa bereaksi seperti itu. Aku kembali membidikkan lensa ke arah langit.

"Lo nggak suka kan sama gue?!" tanya Arga lagi makin histeris.

Aku mengecek hasil bidikanku. "Jadi, gay itu suka sama cowok?" tanyaku tanpa mengalihkan perhatian dari kamera.

"Cowok suka sama cowok, tepatnya," kata Arga. "Maksudnya, intinya."

Aku hanya mengangguk pelan. Aku terpaku dengan sebuah foto. Gadis yang duduk di bawah pohon. Rambutnya beterbangan ditiup angin, mata coklat tuanya memancar indah sangat serasi dengan sinar matahari. Ekspresi sedang memelototi kameraku, matanya memang tidak terlalu bulat, jadi ketika melotot seperti itu, matanya benar-benar seperti bola pimpong.

"EH LO DUA ANAK GILA YANG DUDUK DISANA!!!"

Aku dan Arga sontak menoleh ke sumber suara itu. Gadis gila itu, dengan tidak tahu malu berteriak sekeras itu sampai seantero lapangan dengar. Laki-laki yang sedang bermain basket itu menghentikan permainan mereka.

"GAUSAH FOTO-FOTO KAYAK GITU, GENIT!!!" lanjutnya.

Aku menarik sudut bibir kiriku. Ternyata, dia tahu ya? Tapi dia terlalu percaya diri.

"BACOT LU FAR!!!" Arga ikutan berteriak. Astaga, ini orang berdua. Mukanya sudah tebal. Aku segera berdiri dan menuju kelas.

"EH KEENAN! KEENAN LO MAU KEMANA?! IH JANGAN TINGGALIN GUE!!!" Suara teriakan Arga makin terdengar, membuatku setengah berlari menuju kelas.

*

Bel pulang sekolah berbunyi. Aku berjalan menuju motorku. Di atas stangnya aku melihat kertas hitam yang terlipat rapi. Perlahan, aku membukanya dan membacanya dengan teliti.

Halo, Keenan. Masih ingat aku?. Aku akan kembali. Siapkan uang untukku. Kau tahu? Aku merindukanmu selama beberapa tahun ini.

Hitam.

Tanpa banyak berpikir, aku segera menyalakan mesin motorku dan pulang.

*

"Keenan! Ayo, makan sayang!"

Aku yang daritadi masih membolak-balikkan kertas itu, mengendusnya, atau menerawangnya, masih tidak bisa menemukan jawaban tujuan orang yang mengirim ini.

Hitam.

Hitam.

Hitam?

"Keenan? Kamu ngapain sih?! Lama banget!" Kudengar Mama sudah mulai berteriak.

Aku melempar kertas itu sembarangan dan segera turun ke bawah.

Di meja, sudah terhidang berbagai macam panganan. Nasi putih, kepiting saos padang, cah kangkung, ikan gurami asam manis, mie goreng dan segelas besar jus. "Ada apa nih, ma? Kok banyak banget?"

"Gaada apa-apa," Mama tersenyum miris. "Memangnya mama masak buat siapa lagi?"

Aku hanya terdiam di meja makan. Makanan ini begitu menggugah selera, namun, aku hanya merasa kesepian. Disini ada 4 kursi, dan hanya aku yang duduk disini.

"Ayo, makan, Keenan," kata Mama lesu. Ia menyesap jusnya perlahan sambil berjalan ke ruang keluarga. "Kamu menunggu siapa lagi?"

Aku...

Tidak ada lagi yang bisa kutunggu.

Makanan selezat ini, tetap saja terasa pahit di lidahku. Apa gunanya kau memakan makanan porsi keluarga besar hanya sendirian?

K.

Hello, Keenan! [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang