KEENAN : 15

6.1K 448 1
                                    

Aku mendengar suara, dan semuanya terasa terguncang. Sepertinya aku berada di alam mimpi, karena aku ketika aku membuka mataku, aku berada di atap.

Ini sudah malam, aku tertidur disini dari pukul 3 sore.

"Kipli! Kipli! Lo dimana sih?! Tolongin gue!!!"

Aku mendengar teriakan gadis gila itu. Sepertinya dia yang mengguncang-guncangkan tubuhku tadi dan membuatku terbangun dari mimpiku.

Kepalaku terasa sangat pening, aku memegang dahiku yang terasa panas. Aku bodoh sekali, kurasa aku harus tidak masuk sekolah lagi besok.

Aku bergegas turun ke bawah dan menuju kamarku. Sekilas aku melihat Farah yang tampak sangat gelisah dan mondar-mandir, sambil bergumam.

Aku malas mempedulikannya, akupun masuk ke kamarku dan melanjutkan mimpiku.

"Kak, kenapa ayah lebih menyayangi kakak daripada aku? Kenapa ayah begitu membenciku?"

Mata bocah berumur 4 tahun itu tampak mengkilat seperti kaca. Mulutnya yang kecil mengerucut. Tangan kecil memegang sebuah mobil-mobilan yang tergeletak di lantai, memaju mundurkan mobil itu sehingga membuat sebuah kebisingan yang tipis.

"Kau berkali-kali menanyakan itu," aku melihat seorang bocah yang 2 tahun lebih tua dari yang lainnya. Wajahnya sangat mirip denganku namun dikonversikan ke wajah anak kecil. Kurasa itu aku. Aku seperti melihat layar yang memproyeksikan masa kecilku.

"Memangnya kenapa?" tanya kakaknya itu.

"Gatau deh," kata bocah yang memegang mobil-mobilan itu. "Ayah selalu marah ketika melihat aku, apa karena kakak lebih ganteng daripada aku?"

"Kayaknya sih, gitu." ujar yang lebih besar polos. "Tapi...masa sih?"

"Apa karena aku anak tiri?" tanya yang lebih kecil lagi.

"Memangnya anak tiri itu apa?"

"Aku nggak tahu," kata si adik. "Tapi kayaknya rasanya kayak gini, kak."

"Kamu kebanyakan nonton sinetron kali," kata si kakak.

Tiba-tiba, seorang pria paruh baya datang. Dia ayahku! Aku ingat betul wajah tirusnya yang tampak tertekan, garis wajahnya yang kasar, dan mata marahnya saat itu.

"Kamu!" serunya. Ia mengambil mobil mainan si anak paling kecil dan melemparnya keras-keras ke wajah si anak sambil menimbulkan luka di pipi kirinya. Tampak memar yang membiru dan si anak menangis sekerasnya menahan perih dan ketakutan.

"Kenapa kamu masih saja kesini?! Kenapa kau main mainan Keenan?! Kamu pikir kamu siapa?!"

"Ayah..." isak si anak kecil. Ia sangat ketakutan. Ia berlari menuju jalan raya. Mereka memang sedang bermain di teras.

Tin!!!

Truk melaju dari arah kiri. Si anak menjerit keras. Tekanan sangat merusaknya dan ia berpikir seratus persen bahwa ia sebentar lagi akan menuju surga dengan penuh darah. Sangat ironis bagi anak berumur 4 tahun.

Tapi, salah ia salah. Ia terjatuh di trotoar dan lututnya berdarah. Ia mendengar dentuman dan decitan. Ia menoleh dan melihat si pria paruh baya sudah berada di bawah kolong truk. Yang terlihat hanya darah, darah, darah...

*

Aku merasa tercekik. Aku terbangun dari mimpi burukku yang tengah memutar memori yang sangat ingin kuhapus, tapi memori itu tiba-tiba saja muncul lagi dan aku menjadi penonton di mimpi.

Tubuhku terasa bergejolak, memenuhi tabung tubuhku seperti ingin memuntahkan semuanya. Aku berteriak, dan...

"Keenan? Keenan lo kenapa?!" suara ketukan pintu terdengar. Aku kembali berteriak dan ketukan itu makin keras seperti ingin merobohkan pintu kamar.

"Kipli! Bantuin sini!!! Keenan kenapa nihh..."

"Apa sih..."

Suara Farah mulai meredam dan aku berhenti berteriak.

"Kipli! Lo mabok ya?!" aku kini mendengar Farah berteriak. "Jadi selama ini lo nggak ada di rumah buat mabok-mabokan?! Gue nggak nyangka Kip, lo ternyata..."

"Argh! Udah, berisik!"

Kak Kevin? Kenapa dia...

"Kak!!! Kakak!!!"

Plak!

Bunyi tamparan.

"Udah gue bilang jangan berisik ya jangan berisik!!!"

Bunyi langkah sempoyongan yang mulai menjauh dan aku mendengar isakan tangis kecil.

Aku berlari menuju pintu dan membukanya. Nyatanya, tubuhku memang belum pulih sepenuhnya, berlari saja rasanya seperti melempar diri ke pintu.

Aku melihat Farah yang duduk sambil menutup wajahnya.

Punggungnya yang membelakangiku terlihat bergetar.

Aku berjalan mendekatinya dan duduk di sebelahnya dengan hati-hati. Aku memegang bahunya pelan.

Farah langsung memelukku, dan kausku langsung terasa basah. Tapi, ia menangis sangat pelan.

Aku sama sekali tidak tahu ini jam berapa, tapi aku mengantuk sekali.

Aku tidak pernah tahu apa yang terjadi selanjutnya.

Hello, Keenan! [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang