KEENAN : 19

5.7K 398 7
                                    

"Keenan, kita harus nyamperin Farah ke BK." usul Arga.

"Kenapa?"

Arga menatapku tajam. "Ya dia udah ngebela lo!"

Aku mendengar dengan jelas setiap perdebatan gadis gila tadi. Karena aku selalu memerhatikannya. Tapi sekeras apapun dia membelaku, aku tidak pernah memintanya. Mungkin ia mengira, ia adalah orang paling malang di dunia, ia seperti agar-agar yang baru saja hancur lebur karena terinjak. Pikirannya sudah senewen saat ini.

"Keenan, ayo."

Aku memasukkan buku-bukuku ke dalam tas, seiring bel pulang berbunyi.

"Biarkan saja." sahutku. Aku menyandang tasku.

"Lo bilang apa?!" Arga menarik kerahku. "Lo itu nggak tau terima kasih! Lo itu keras banget."

Aku menatap Arga yang tengah melotot sambil mencengkeram kerahku. Tatapan tanpa rasa, sedatar yang kubisa. Arga langsung melepas cengkeramannya dan mendengus.

Aku berjalan menuju parkiran.

"Kau darimana?"

"Kau tinggal dimana sekarang?"

"Ah jangan-jangan kau menggelandang ya?"

"Besok akan kutemui kau secepatnya, sepulang sekolah."

"Soal Mama, kau tidak perlu khawatir, dia mama-ku juga, jadi tidak mungkin aku menyakitinya. Lagipula beliau senang menerimaku."

Suara-suara yang terus berkecamuk membayangiku sepanjang malam. Sebelum aku mencari tempatku untuk kabur, aku bertemu dia lagi.

Hitam.

Walau ia sudah sangat sombong, bertubuh tinggi, kekar, tapi tetap saja ia masih terlihat rapuh di hadapanku. Masih seperti Hitam yang dulu. Aku juga masih berpikir kenapa ia diberi nama Hitam oleh mama papaku. Pendapat mereka berbeda.

"Hitam adalah sesuatu yang kuat. Ia mampu mempengaruhi semuanya, ia dapat mengubah semua warna menjadi warna hitam. Ia tangguh, tidak akan berubah. Tahan banting. Hebat, kan, adikmu ini Keenan?" Wajah mama sangat bersuka cita.

"Hitam adalah pengingat sesuatu yang kelam." Papa tetap tenggelam dalam kepedihan hatinya.

Dan yah, benar yang kuduga. Hitam meninggalkan jejak. Ban motor Arga bocor.

"Hey, Keenan!" Haris menepuk pundakku. Ia tersenyum.

"Mau ikut nggak? Kita mau nraktir lo, yah, itung-itung sebagai permintaan maaflah..." ujar Tristan. Seorang yang selalu berada di sebelah Haris. Aku dengar benar kalau mereka terus mengolokku, bahkan gadis gila itu menerjang ke atas meja dan mendorongnya! Oh dia memang sudah hilang kewarasannya.

Aku hanya terdiam sambil menarik salah satu alisku. Aku malah curiga kalau mereka yang membuat ban motor Arga menjadi tidak mempunyai angin seperti itu.

"Oh? Ban Arga bocor?" tanya Haris seolah-olah baru tahu. "Whoa, man. Bukan gue, gue baru juga kesini nyamperin lo." Haris mengangkat tangannya seperti baru tertangkap.

"Ya udahlah," Tristan merangkulku. "Mending kita makan, terus masalah kita selesai deh bro."

Aku menurut saja diajak mereka. Mataku mencari sosok Hitam dengan liar. Mereka tidak ada dimanapun, apa mungkin ia menyamar? Atau, ah.

Entahlah.

Yang jelas, ketika melewati ruang guru, aku melihat gadis gila itu duduk terpekur dengan sepasang suami istri yang berkacak pinggang.

Tapi, gadis itu tersenyum.

Kemudian, dia ditampar. Oleh pria berjas itu. Dan gadis makin melebar senyumnya. Ia seperti merindukan tamparan itu.

Tamparan itu.

Hello, Keenan! [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang