KEENAN : 11

7.1K 499 3
                                    

Aku memunguti baju-bajunya yang bertebaran di lantai. Buku-bukunya tidak ada di rak, sepertinya dia melempar mereka semua sampai ada sebagian yang robek.

Aku tahu, dia pasti marah padaku. Tapi, aku memang tidak tahu apalagi yang harus lakukan. Pikiranku saat itu hanya tertuju pada bagaimana aku bisa melepaskan diri dari Mama dan bocah sialan itu. Maksudku, aku akan kembali bila bocah itu sudah pergi.

Otakku mereka ulang adegan ketika acara masak-masak tadi.

"Aku mengaku kalah." Mungkin itulah yang harus kuucapkan agar aku diterima dengan ikhlas di tempat ini. Tapi, tanpa kusadari, gadis gila itu marah besar denganku. Ia berteriak dengan kencang di hadapanku. Sampai ketika ia melempar semua bumbu masakannya dan bawang-bawang yang menciprati wajahku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku melihat matanya yang mulai berair, wajahnya tampak sedih, lalu ia berlari menuju kamarnya, dan membanting pintunya dengan keras. Seakan menamparku.

"Keenan," Kak Kevin mengusap-usap punggungku. Ia memang memiliki rasa empati yang besar. "Gue nggak tahu kenapa Farah kayak gitu, mungkin dia PMS. Biasalah cewek."

PMS ya?

Aku mulai membereskan panci, sodet, dan bumbu-bumbu yang berserakan di hadapanku. "Nggak usah dibersihin Keenan," kata Kak Kevin. "Mending lo mandi aja, biar Bi Inah yang ngeberesin..."

"Tidak masalah." tolakku. Aku membereskan semua yang berserakan di lantai itu dan otakku masih tetap memperlihatkan wajah gadis itu dan rasa bersalahku yang kian besar.

Selesai membereskannya aku berjalan menuju kamar gadis gila itu. Berdiri dan menatap kosong pintu berwarna putih dengan tulisan 'Farah' yang besar tergantung. Kamar itu terdengar sepi walau sempat sebelumnya kudengar suara bantingan dari kamar ini. Ah, apa dia mati di dalam?.

Aku tetap berdiri tidak bergerak sama sekali sampai waktu berjalan makin sore. Aku tidak tahu ini jam berapa. Aku terus berpikir, apabila gadis itu keluar, apa yang harus kulakukan?. Apa aku harus meminta maaf?.

Kriek!

Tiba-tiba, pintu itu terbuka dan gadis itu berdiri di hadapanku dengan tampang khas bangun tidur. Jeda beberapa detik dan aku sempat berpikir ia akan menamparku, tapi wajahnya begitu datar tanpa ekspresi.

Akhirnya, aku mencoba membuka suara, "dapur sudah bersih."

"Yaudah bersihin kamar gue." Ia mendorongku untuk tidak menghalangi jalannya dan pergi tanpa berkata apa-apa lagi.

*

Setelah membereskan kamarnya, aku berjalan keluar kamar dengan bajunya yang bertumpuk-tumpuk. Dia memang terlihat seperti tipikal orang yang gasrak-gusruk dan tidak rapi. Tapi, ia lumayan peduli dengan bau badannya. Bahkan, pakaian kotornya saja berbau wangi. Kamarnya juga wangi walau terlihat seperti kapal pecah.

Aku berjalan keluar kamar untuk memasukkan pakaian-pakaian itu ke mesin cuci.

BRUK!!!

Aku menabrak seseorang dengan keras karena mataku yang tertutup oleh tumpukan pakaian itu. "Keenan? Lo ngapain disini?"

Aku mengangkat wajahku untuk melihat siapa yang kutabrak.

Kukira aku menabrak Kak Kevin atau Bi Inah atau gadis gila itu. Tapi, itu...Kanya!.

"Lo...ngapain keluar dari kamar Farah?" Oh, Tuhan. Aku harus jawab apa?. Aku memerhatikan wajah Kanya yang mulai memerah.

"Kanya!"

Kontan, aku dan Kanya menoleh ke sumber suara yang ada di belakangku. Gadis gila itu terlihat tampak tenang, ia menarik tanganku untuk menjauh.

Setelah sampai ke pinggir tangga, bola mata melotot ke arahku. "Lo, jangan sampai orang-orang tau tentang taruhan kita ya, kalau sampai sesekolah tahu, gue tendang lo!"

Memangnya dia pikir, siapa yang mau membocorkan taruhan memalukan ini? Yang benar saja. Aku hanya mengangguk dan berjalan menuju kamar baruku di loteng. Lebih baik aku membereskan pakaianku saja.

Hello, Keenan! [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang