FARAH : 6

9.8K 634 2
                                    

Gue asyik melahap semangkuk ceri di depan televisi. Ceri adalah favorit gue, walaupun menurut banyak yang bilang ceri itu berbahaya bila tidak mengomsumsinya hati-hati, gue nggak peduli. Gue biasa menghabiskan sekulkas ceri selama 2 hari tapi perut gue nggak masalah.

"Woy, nggak bagi-bagi ya sama gue, rakus!"

Sofa yang gue duduki ini terasa timpang sebelah, dan sebuah tangan besar meraup banyak ceri hingga menyisakan setengah mangkuk.

"Kipli!!!" gue menjerit melihat pria yang duduk di sampingku dengan cuek. Tidak banyak yang berubah darinya, potongan rambutnya hanya terlihat lebih rapi dan...dewasa.

"Ngeliatin gue biasa aja keleus," Pria itu menampakkan cengiran kuda khas-nya. Bahkan, kawat giginya sudah dilepas. "Gue tau gue ganteng sekarang."

"Sekarang." ulang gue, lebih tepatnya, menegaskan.

"Halah," Kipli mengacak-ngacak rambut gue. "Lo nggak berubah ya, tetep aja nyebelin, pantesan jomblo terus."

"EH!" Gue langsung melotot. "Jangan asal nge-judge ya! Gue ini single dan itu prinsip!"

"Halah," Gue pengen nabok Si Kipli tiap kali ngomong 'halah'. Dari dulu ngomongnya gitu doang. "Emang gaada yang mau sama lo, gue aja ogah."

Gue melihat mangkuk ceri gue udah ludes. Dan Si Kipli masih aja mengunyah. "EH KIPLI!!! AWAS LO YA!!! CERI GUE ABIS GARA-GARA LO!!!"

Gue langsung memukul Kipli tanpa ampun. "Aw! Aw! Lo tega ya mukul kakak lo sendiri!" seru Kipli. "Bodo amat! Siapa suruh lo ngabisin ceri gue!" Gue terus memukulnya tanpa ampun.

"Lo nggak kangen sama gue?" Kipli menghentikan pukulan gue dengan mencengkeram lengan gue. Mata hazelnya menatap gue lekat-lekat. Terkadang gue heran kenapa dia bisa mendapatkan bola mata hazel itu walaupun rambutnya berwarna hitam. Nyokap gue berasal dari Rusia, mewariskan rambut marunnya kepada gue dan mata hazelnya ke Kipli. Sedangkan Bokap gue Orang Jawa asli.

"Gue bahkan udah mulai lupa sama lo, Kip." Gue tersenyum miris. "Lo kuliah di Jerman udah setahun. Gapernah balik, udah jarang nelpon, dan lo udah jarang ngajak gue skype-an lagi."

"Nahhh, lo pasti kangen sama gue kangen, kan???" Kipli masih aja meledek. Gue menunduk.

"Hei, hei..." Kipli mengusap-usap bahu gue yang mulai gemetar. "Maafin gue, ya..."

"Gue udah ngerasa kayak nggak punya keluarga lagi tau nggak," Gue terisak. "Lo janji ke gue untuk pulang pas hari ulang tahun gue, tapi nyatanya, nggak ada yang pulang ke rumah ini. Gue ngerasa...kayak gue udah sendirian. Papa mama udah sibuk, lo juga. Papa mama sibuk nyari duit di luar, lo sibuk nyari ilmu, gue? Gue sendirian. Untung aja gue masih punya Kanya. Terus apa gunanya gue punya keluarga lengkap tapi gue jarang ketemu mereka?"

"Farah..." Suara Kipli melembut. Suaranya mulai terdengar seperti Papa. "Gue tau perasaan lo, tapi lo kan udah harusnya ngerti..."

"Gue udah cukup ngerti, kok." Gue mengangkat wajah dan memerhatikan mata Kipli. Kakak kandung gue satu-satunya. Dulu dia selalu ngelindungin gue dimanapun dan kapanpun. Kalau dia sudah menikah, gue pasti bakal sendirian beneran. Papa mama juga sudah mulai menua. Tapi, mereka menghabiskan waktunya di dunia kerja.

"Kak..." Kipli tersenyum sambil mengangguk. Ia mengusap sudut mata gue yang udah basah. "Lo berapa lama tinggal disini?"

"Gue libur 1 bulan."

Hello, Keenan! [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang