FARAH : 16

5.9K 472 3
                                    

Gue nggak tahu semuanya bermula, ketika gue terbangun badan gue udah ada di atas lantai dan kepala gue berada di atas dada Keenan. Mayat hidup itu terlihat sangat pucat, mungkin memang itu warna kulitnya.

Gue nggak tahu bagaimana caranya untuk membawa dia ke kamarnya, jadi gue tinggalin aja dia terkapar gitu di lantai.

*

Gue beranjak ke dapur untuk membuat sarapan. Gue melihat sebuah punggung sedang mengambil sesuatu di kulkas, rambut ikalnya itu acak-acakan. Gue mengingat kejadian semalam dan gue merasa sangat benci, sangat benci melihat dia disini. Gue memegang pipi gue yang tertampar dan rasanya perih.

Gue lebih merasa tidak aman ketika kakak gue di rumah dibanding Keenan.

"Omaygat!!!"

"Keenan!!! Bangun!!! Tega banget dah si Farah masa nyuruh lo tidur di lantai?! Parah!!! Woy Parah! Mana lo?!"

Aish, suara cempreng ala banci kaleng itu... Pasti Arga. Dan ketika dia mulai memanggil gue 'Parah'.

"Farah?"

Gue menengok ke arah laki-laki asing yang sekarang berdiri di depan gue.

Ketika ia berbicara, wangi alkohol tercium sangat memualkan.

Bodohnya, di tangannya ia memegang sekaleng minuman fermentasi. Dia sangat bodoh, apa dia ingin mati?

"Far, kok pipi lo merah? Emang lo abis ngapain?"

Gue rasanya ingin berteriak di depan wajahnya, "ITU SALAH LO, TOLOL!". Tapi hati gue sakit, sangat sakit ketika kakak yang seharusnya menjadi satu-satunya tempat gue berlindung sekarang, sama sekali tidak bisa dipercayai sudah menyakiti adiknya sendiri walau dengan keadaan mabuk.

"Ya ampun Nak Kevin atuh teh? Kenapa berantakan begitu? Kok bau alkohol ya?" Tiba-tiba Bi Inah muncul di belakang gue, dan saat yang paling tepat untukku melarikan diri.

Melarikan diri dari masalah.

Sesampai di depan TV gue mendapati Keenan yang duduk dengan lesu dengan Arga yang sudah berseragam sekolah rapi menceramahinya.

"Eh ini dia Si Parah!"

"Apaan sih? Ngapain lo kesini?"

"Hehehe biasa... Minta sarapan HAHAHA!" kata Arga cekikikan sendiri. "Lah lo kenapa? Kok mata lo sembab gitu? Pipi lo juga merah?"

"Ini juga kenapa Keenan pucat banget nih? Di atas lantai lagi tadi."

"Kalau mau sarapan ke dapur noh," kata gue. "Gue males sekolah, izinin gue apa aja."

Dengan malas, gue berjalan ke kamar. Menerbangkan badan gue ke kasur dan gue ingin terus bermimpi, tidak pernah terbangun.

*

Gue berjalan ke luar kamar gue setelah tidur kira-kira 5 jam. Rekor yang cukup bagus buat gue yang tidur lagi setelah bangun pagi. Sekarang jam 12 siang. Rumah ini terasa sepi sekali.

Apa mungkin Keenan berangkat sekolah ya?

Gue memutuskan untuk naik ke atap walau gue tahu kalau ke atap jam segini bisa bikin lo mati kena terpaan matahari khas jam 12 siang yang langsung memanaskan otak lo. Ya, gue kan emang pengen mati. Gue nggak tahu apa yang terjadi selanjutnya kalau gue hidup, karena gue baru aja menemukan berbungkus-bungkus tablet putih di meja makan. Gue nggak tahu itu punya siapa, apa mungkin itu obatnya Keenan, ya?

Sebenarnya bukan obat Keenan yang muncul di pikiran gue.

Gue tersentak kaget ketika sampai di atap, menemukan Keenan yang sedang duduk di tepi atap yang bisa membuatnya jatuh bebas kapan saja. Karena saat ini, gue rasa anginnya cukup kencang di atas sini.

"Keenan? Itu lo, kan?" panggil gue. "Lo...nggak sekolah juga?"

"Nggak boleh sama Arga," katanya lemah. "Disuruh jagain Farah katanya."

Gue terdiam cukup lama.

"Nggak ada yang bisa gue butuhin buat jagain gue saat-saat ini," sahut gue. "Nggak akan ada."

Keenan berbalik dan mata hitamnya menatap gue lekat-lekat.

"Oh lihat sekarang!" kata gue. "Gue merasa sekarang kisah hidup gue udah kayak FTV apalagi sekarang cara ngomong gue udah lebay gini, HAHAHA terus lo? Lo seakan-akan jadi cowok yang nemenin gue di saat kritis kayak gini, dunia sama munafiknya kayak FTV."

Keenan tetap memerhatikan gue yang udah bicara melantur.

"Gue lebay banget sih, rasanya gue pengen mati cuma karena lihat kakak gue yang paling gue sayangin di dunia ini, tiba-tiba doyan clubbing sama nge-drugs! Papa mama gue yang nggak akan pernah pulang apalagi telpon gue aja gapernah diangkat!" Gue tertawa sekencang-kencangnya setelah berkata seperti itu. Gue udah gila kayaknya.

"Yah aku juga," kata Keenan tiba-tiba. "Bocah sialan itu kembali."

Bocah sialan?

"Kalau mau mati," kata Keenan. Matanya yang hitam seperti mengunciku dan bibirnya yang pucat mulai tertarik ke samping. "Matilah bersamaku, aku juga ingin."

Hello, Keenan! [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang