KEENAN : 25

5.4K 371 4
                                    

Mimpi yang sangat buruk. Teramat buruk. Bertubi-tubi, segala masa lalu yang busuk menguak namun menghasilkan secercah jawaban. Dari semuanya. Kepalaku amat sangat pusing. Bagaimana bisa aku terus-terusan jatuh sakit seperti ini. Sangat lemah.

"Keenan," Arga yang sedang duduk di tepi ranjang sedang mengaduk-aduk tas ransel yang dibawanya. Sangat memalukan, ketika tahu aku berada di dalam kamar seorang gadis, bahkan tidur di ranjangnya. Sangat gila dan tidak senonoh. Apalagi pakaianku sudah berganti. Aku tidak tahu bagaimana caranya bisa melekat di tubuhku. Aku tidak tahu apa yang dipikirkan sahabat gadis gila itu. Bisa jadi orang jauh lebih tidak waras. "Minggu depan kita kan UTS, setelah itu kita main yuk?"

Aku menaikkan salah satu alisku. "Main?"

"Ya," Arga menunjukkan 4 lembar kertas mengkilat berwarna merah. "Gue dapet tiket gratis ke dufan. Kita bisa kesana berempat."

"Berempat?" Aku membeo lagi.

"Ya iyalahh," kata Arga. "Lo, gue, Farah, sama Kanya." Wajah Arga tampak sangat sumringah.

"Yey!" Kanya tiba-tiba masuk ke kamar. "Nggak sabar gue. UTS nya lewatin ajalah." Wajah Kanya tampak lebih sumringah. Mungkin karena ia baru mandi pagi.

"Eh, Kanya," kata Arga. "Semalem lo tidur sama Keenan ya? Keenan kok ada di kamar lo?"

Wajah Kanya langsung merah padam. Ia lupa memakai kacamatanya, matanya membulat hampir memenuhi setengah wajahnya. "Enak aja!" Kanya memukul lengan Arga. "Kemaren kan gue panik yaudah gue bawa aja kesini. Lagian gue tidur di kamar Mama kok."

"Oh gitu." Arga mengangguk-angguk dengan senyum jahilnya. Ia tampak puas meledeki Kanya. "Pake kacamata lo, Kan." Arga berdiri. "Kita ke rumah Farah."

Raut wajah Kanya langsung berubah. "Mau ngapain?"

"Ya ngasih tau Farah lah, gimana sih lu." kata Arga. Aku ikut bangkit dan rasanya badanku mau patah semua.

"Sini, Keenan. Gue bantu." Arga menarik tanganku.

"Ngapain sih," seketika Kanya berubah menjadi orang yang tidak dikenal. Begitu judes dan menampilkan wajah dengki. "Kan nanti telpon bisa LINE-in juga jadi. Nggak usah disamperin juga kali."

"Lah tumben lo diajak kagak mau," kata Arga. "Gue sama Keenan aja."

"Ng..." Kanya seperti mencari-cari alasan. "La, lagian kayaknya Keenan keliatan masih sakit, kan...?"

Aku teringat suatu barang yang penting yang tertinggal di rumah Farah. Hidupku tertinggal. Semua memori.

"Yaudah," kata Arga. "Gue aja."

"Tunggu," sentakku. Aku berusaha berdiri.

"Nggak usah dipaksain, Keenaan." Kanya langsung menahan lenganku. Tanpa sadar, aku menepisnya.

"Aku ikut." Kanya mendengus mendengarku yang berkata seperti itu.

"Yaudah ayok gece, gue pengen minta diajarin Fisika sama Farah soalnya." Arga melirik Kanya. "Lo ikut nggak, Kan?"

"Yaudah deh."

*

"Woah, tante!" Arga memeluk seorang wanita yang kira-kira berumur 45 tahun yang membukakan pintu. Orang itu bukan Bi Inah. Rambutnya berwarna marun dan matanya berwarna coklat terang, amat mirip dengan gadis gila itu.

"Wah Arga, lama banget nggak ketemu yaa, kangen banget tantee..." kata wanita itu sambil menepuk-nepuk punggung Arga.

"Wah apalagi Arga tan, miss tante much moree..." kata Arga sambil melepas pelukannya.

"Hehehe, bisa aja nih si Arga. Eh ada Kanya juga ya?" Kanya tersenyum manis dan ikut memeluk Tante Julia, mamanya Farah. Namun tidak seheboh anak bergigi pagar itu.

"Ayoo masuk, masuk...eh yang ini siapa?" Mama Farah melirik ke arahku. Aku menunduk sopan.

"Nama dia Keenan, tante," kata Arga. Arga merangkulku untuk membantu menghilangkan rasa gugupku. Tapi aku tidak bisa tersenyum. Aku hanya memandang intens ibu dari gadis gila itu yang tersenyum risih padaku.

"Oh, Keenan ya? Yaudah ayuk masuk masukk, tante bikinin pancake ya!" Mama Farah menyuruh kami masuk dengan ramah.

"Yey, makasih tante! Oiya kita boleh ketemu Farah, tan?" Kanya bertanya.

"Eh, emm, dia nggak mau keluar kamar dari tadi pagi. Dia nggak jawab biasanya sih masih molor. Coba kalian gedor-gedor aja ya." kata Mama Farah sambil berlalu.

Aku, Arga, dan Kanya pergi ke kamar Farah. Di ruang keluarga tampak pemandangan yang aneh. Ada sofa yang diduduki oleh seorang pria berambut acak-acakan. Ia menghadap televisi yang menampakkan layar semut.

Persis orang stres.

"K...ak Kipli?" Arga mendekati pria di sofa yang memunggungi kami. Kontan pria itu menoleh dengan kondisi yang buruk. Lingkar matanya sangat hitam tebal, matanya kuning kemerahan menyala, dan banyak kulitnya yang menghitam.

"Arga?!" Pria itu langsung memeluk Arga sambil menangis. Lalu ia tertawa terbahak-bahak sambil menepuk-nepuk bahu Arga. Wajah Kak Kevin sangat berbeda. Tampak sangat pucat dan lemas.

Kak Kevin...jangan-jangan dia memang...

"Wah Kak Kevin nonton apa tuh kayaknya seru banget?" kata Arga kemudian. Ia tampak sabar mendengar ucapan Kak Kevin yang ngalor ngidul.

"Nan," Kanya menyikut lenganku. "Kita ke kamar Farah aja gimana?"

Hello, Keenan! [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang