KEENAN : 17

6K 401 0
                                    

Barangkali, sekeras apapun hidup, Tuhan tidak akan serta merta merelakan nyawamu.

K.

*

"Matilah bersamaku, karena aku juga ingin."

Aku meraih tangannya pelan. Ia tampak mematung melihatku, matanya yang berwarna cokelat itu tampak suram. Aku menariknya ke tepi atap ini dan melihat ke bawah. Kami mungkin tidak akan langsung mati jika jatuh ke bawah karena ini bukan gedung.

Mungkin saja, kalau kami memang benar-benar nekat terjun dari sini, bukannya mengakhiri hidup malah menancapkan identitas cacat seumur hidup. Menyedihkan sekali.

"Ayo, Keenan!" teriak Farah. "Tunggu apalagi!"

Ia bergegas menaiki pembatas atap. Ia bersiap-siap terjun. Aku segera menariknya untuk turun kembali.

"Ini ide bodoh." kataku dingin.

Mata cokelatnya itu membulat melihatku, raut wajahnya seperti tidak terima seakan ditampar.

Ia melepas pegangan tanganku dan turun cepat-cepat ke bawah.

Aku terdiam sejenak disini. Kakiku terasa sangat perih karena lantai atap ini menyerap sinar matahari. Aku mulai merasa tempat ini memang cocok sebagai tempat untuk menangis sendirian, menjemur diri jika dirimu malas ke pantai, atau sekedar menikmati angin yang membisikimu yang sedang sendirian.

Hingga sempat menjadi langkah awal untuk mengakhiri hidup.

Aku ingat sekali, mata cokelat yang barusan memelototiku, berkata "cukup untuk semua kebodohan ini!". Matanya yang sesuram itu menjerit tanpa henti di dalam rongga hatinya paling dalam.

Ia hanya anak kecil kesepian yang baru mengetahui kenyataan.

Aku pun bergegas turun ke bawah, jika semakin lama disini kakiku bisa berubah menjadi ayam panggang. Tidak buruk juga sih, jika kakiku ini menjadi ayam panggang, aku tak perlu lagi mengemis di rumah ini, mengingat satu bulanku hampir habis menghitung hari.

Di dapur aku bertemu Bi Inah yang sedang memasak di pancinya. Ia sudah terlalu tua untuk pekerjaan seperti ini, seharusnya sekarang ia di rumah menimang cucunya.

"Mas Keenan!" sapanya ramah. Ia berjalan pelan ke arahku. Ia menunjukkan sebungkus kecil berisi tablet putih yang asing. "Ini punya Mas Keenan, bukan? Saya tadi nemu di...dimana ya, lupa. Saya kira Mas Keenan lupa bawa jadi saya simpan aja." katanya sopan nan lugu.

Tablet itu...aku sering melihatnya di berita-berita kriminalitas yang biasanya berkilo-kilo disita di kantor polisi. Itu, kan...

Nggak mungkin itu punya Farah, apa mungkin punya...

Kak Kevin?

"Engg, taruh aja di meja tamu, Bi. Saya nggak tahu punya siapa." sahutku sambil bergegas kamar Farah.

Pintu kamarnya terbuka!

Aku melongokkan kepalaku ke dalam, tidak ada penghuninya disitu. Aku juga menemukan pandangan kamar yang rapi, di tempat tidurnya ditutupi selimut seakan ia sedang meringkuk disitu. Aku tahu, itu hanya tipuan klasik, penghuni kamar ini telah kabur dengan waktu yang tidak kuketahui.

Aku sedikit merasa lega, karena ia tidak akan berada disini jika tahu kalau kakaknya itu...

Aku mendengar suara gelak tawa dari pintu depan. Suara banyak pria yang tertawa terbahak-bahak yang membanting pintu depan tanpa adab.

Aku berlari menuju kamarku. Mungkin aku harus melakukan cara yang sama seperti gadis gila itu. Kabur.

Aku memasukkan beberapa helai baju ke dalam tasku, buku tulis dan beberapa lembar uang di dompetku. Kupikir, setelah ini, aku harus bekerja sampingan. Dan aku harus segera bersekolah kembali.

Aku melirik jam dinding yang terpaku di sudut kamar. Hari mulai senja. Tapi, aku tidak tahu caranya keluar. Masa aku harus melewati pria-pria yang nanti malam akan berpesta dengan obat-obatan dan minuman keras?

Oh, bagaimana nasib Bi Inah? Kuharap ia menangkupkan dirinya di kamar sambil menelpon anaknya memohon untuk menjemputnya pulang. Oh iya, kan sekarang ia bekerja paruh waktu, ia akan pulang ketika senja datang seperti kawanan burung yang melesat mencari matahari terbenam. Ia juga bisa melewati pintu belakang. Ya! Pintu belakang!. Aku juga bisa lewat situ.

Setelah yakin, aku pun berjingkat-jingkat menuju pintu belakang. Aku melirik kamar Bi Inah yang berada di dekat dapur, kamarnya juga sudah kosong.

Jantungku berdegup kencang, ketika sampai di dapur aku dipergoki oleh pria tinggi berambut ikal dan bermata kuning. Kak Kevin! Penampilannya sekarang begitu menyedihkan. Berbeda ketika pertama kali aku bertemu dengannya.

"Lo mau kemana?" Bahkan ia berkata tidak seperti bertanya padaku, lebih tepatnya menudingku.

"Menginap di rumah teman." kataku berusaha tenang.

"Lah, tumben." komentarnya. Aku melirik gelas berisi cairan bening yang dipegangnya. Kuharap itu air mineral biasa.

"Yaudah kalo gitu." Ia pun pergi. Benar saja, ia tidak akan menanyakan Farah. Ia pasti berpikir bahwa gadis itu meringkuk di bawah selimut tebalnya. Harusnya ia merasa aneh, gadis itu tidak mungkin membiarkan pintunya terbuka dengan kamar yang rapi. Jika pintunya terkunci rapat, artinya penghuninya sedang memenuhi kebutuhan manusiawinya.

Aku pun menghela napas lega dan setengah berlari menuju pintu belakang sebelum pria itu berubah pikiran.

Setelah bebas, aku baru teringat sesuatu.

Aku akan kabur kemana?

Hello, Keenan! [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang