KEENAN : 13

8.1K 493 5
                                    

Semenjak malam bersama Farah di atap, tampaknya hubungan kami terasa lebih baik. Tatapannya tidak lagi sinis kepadaku. Dia juga jadi jarang mengejekku. Sebenarnya aku merindukan 'mode gila'-nya yang berisik itu.

"Keenan!" seru Arga tiba-tiba. "Ayo kita latihan ngomong lo-gue!"

Aku mengernyitkan dahiku.

"Karena kalau kita ngomong aku-kamu..." kata Arga lagi. "Kayak gay."

Gay lagi. Aku kembali berkutat mengerjakan tugas matematikaku.

"Ih jangan kacangin gue dong Keenan!" Arga mengguncang-guncangkan bahuku sehingga yang tadinya aku mau menulis angka 8 malah jadi 9 yang panjang ke bawah. Hosh, sabar...

"Baiklah." kataku akhirnya.

"Oke!" kata Arga dengan semangat. "Lesson pertama!"

Arga menyambar pulpenku dan menulis di bukuku. Jangan di buku matematikaku Arga! Dasar bodoh.

Aku menyambar buku matematikaku dan memasukkannya ke dalam tas.

"Ih Keenan terus gue nulis dimana???" kata Arga sambil manyun.

Aku meletakkan buku bersampul hitam milikku dengan kasar di atas meja.

Arga langsung menampangkan senyum gigi kudanya. "Hehe, gitu dong." Arga membukanya. Tunggu, tunggu. Buku bersampul hitam...

"Malam ditaburi kunang-kunang yang melintasi langit hitam, aku melihat pengakuan yang membuat perasaanku lebih lega dengan mata coklatnya yang sebening kaca..." Arga membacanya. Aku menyambar buku itu.

"Cie elah, lo bikin puisi Keenan? Apa...diary?" ledek Arga. "Tidak perlu dilihat." sahutku. Aku membuka lembaran yang kosong dan mengisyaratkan agar Arga menulisnya disana.

"Oke." kata Arga. Ia mulai menulis sebuah kalimat.

"Gue diktein ya, Keenan!" seru Arga. "Emmm, nulis apa ya? Oh ini aja. Lo gue end!"

"Wow wow wow!"

Aku dan Arga menengok ke arah Tristan dan Haris yang sudah berdiri di samping kami.

"Jangan putusin Keenan atuh, Gaaa..." ledek Tristan dengan wajah menyebalkan.

"Berisik banget lo!" kata Arga. "Banyak bacot hahaha!" aku merasa kalau Arga hanya menganggap itu candaan. Tapi jujur saja aku sedikit...tersinggung.

"Kita tuh mau nyelametin lo aja Ga, takut lo jadi gay." sahut Haris.

"Eh lo becandanya biasa aja ya!" kata Arga. "Keenan biarin aja mereka!" kata Arga kepadaku. Aku hanya terdiam. Aku merasa seperti gadis kecil yang tersakiti.

"Gue serius, Arga!" kata Haris tidak mau mengalah. "Kita nggak tahu Keenan kayak apa, bisa aja dia gay beneran kan? Oh enggak, kata gay terlalu keren buat dia..."

"Diem lo Har!" kata Arga. "Lo tuh tipikal seneng dihajar ya!"

"Hahaha, nggak juga sih," kata Haris. Ia tersenyum mengejek ke arahku. "Lo juga nggak ada gaya laki-nya sama sekali, lo tuh lembek...kayak cew..."

Bruagh!!!

Aku sudah tidak tahan lagi. Aku menonjok Haris tepat di pelipisnya sampai ia tersungkur menimpa meja-meja. Ia mengingatkanku pada...

"Keenan!" seru Arga.

Seluruh penduduk kelas menyaksikan kejadian itu dan terdiam. Beruntung tidak ada guru, tapi tidak beruntung juga kalau Haris melaporkannya pada guru.

"Lo sih Har!" kata Tristan sambil membantu Haris berdiri. "Maafin Haris ya, Keenan!

Nafasku menderu hebat. Aku merasa seperti orang kesurupan. "Kalau kau mencoba berkata hal itu lagi!" bentakku. Aku tidak menyangka aku bisa bersuara setinggi ini. "Kau akan kubunuh!"

Hello, Keenan! [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang