Kenapa kau harus kembali?. Bahkan aku begitu muak melihatmu seakan menyempurnakan derita hidupku. Kegelapan yang kurasuki berbeda denganmu. Mereka bilang aku lah yang harus bertanggung jawab untuk melindungimu, tapi kau lah yang ingin pergi. Aku tidak peduli.Karena aku kesepian, aku membiarkan kesepianku ini diselimuti kegelapan. Tapi, aku tidak mau egois, aku tidak mau melukai orang lain.
"Ayah! Ayah! Apa kau mendengarku? Sekarang kau ada dimana?"
"Ayah aku ingin mengikutimu."
"Ayah, aku kesepian."
"Ayah, kau membuatku merasakan kesepian ini. Kau yang membuat kehancuran. Kau sama sekali tidak bertanggung jawab!"
"Ayah! Apa kau tuli?! Aku benci kau!"*
Apa aku sudah mati?
Aku membuka mataku ketika merasakan benda lembut yang mengusap sudut bibirku dan itu rasanya begitu perih. Aku dimana?. Seperti...di dalam mobil. Ah, mungkin orang yang menyelamatkanku. Setidaknya, aku harus bilang terima kasih terlebih dahulu.
"Terima Kasih."
Ketika pandangan mataku mulai menjelas, aku menoleh ke sosok yang menyelamatkanku.
Ti...Tidak mungkin!. Kenapa dari sekian orang di dunia ini, harus dia juga?. Aku menatap kedua bola mata cokelatnya yang menatapku bingung.
Aku menepis tangannya yang kugenggam itu, dan berkata, "Tidak usah sok berlagak menyelamatkan."
Kulihat kedua bola matanya yang mulai membulat dan mukanya yang mulai memerah, kontras dengan warna rambutnya.
"GUE BENCI SAMA ORANG KAYAK LO!" Ia berteriak di depan wajahku, membuka pintu mobil dan membantingnya keras-keras.
Aku melirik ke seorang pria yang wajahnya mirip dengan gadis gila itu. Matanya berwarna hazel, menatapku tajam. "Gue nggak tau lo siapa ya," katanya. "Mending lo turun dulu, gue obatin luka lo, baru lo boleh pergi."
Tidak ada gunanya kalau aku ingin kembali sekarang. Mungkin ini adalah jalanku satu-satunya. Aku mencium bau yang 'menarik'.
*
"Lo nggak perih apa?" tanya pria yang menyetir mobil tadi, tengah mengobati memarku dengan air panas. "Kalo gue jadi lo gue udah teriak kejer-kejer kali."
Sakit?. Kalau hanya sakit ini, kurasa tidak ada apa-apanya.
"Oiya, kenalin gue Kevin," kata pria itu memperkenalkan diri. "Tapi, dari kecil Farah manggil gue Kipli, aneh banget emang itu bocah. Lo siapa?"
Aku menoleh dan kembali meneliti mata beriris hazel itu. Mata hazelnya bertubrukan dengan warna rambutnya yang hitam legam. Sama halnya seperti Farah yang rambutnya berwarna marun tapi iris matanya berwarna coklat gelap.Keluarga yang aneh. "Keenan." kataku dingin.
"Lo kayaknya aneh, ya," komentarnya asal. "By the way, ceritain ke gue dong, kok lo bisa tepar di jalan?"
*
"EH! LO NGAPAIN MASIH DISINI?!"
Aku menoleh ke arah suara cempreng menggelegar itu. Gadis gila itu sudah mengganti bajunya dengan baju rumahannya yang super aneh, ia menggunakan celana training dan tank top bling bling. Setengah mau olahraga, setengah mau dangdutan. Aku beralih ke matanya yang sudah melotot ke arahku. Tangannya mencengkeram gelas kaca erat-erat.
"Halo, Farah!" kata Kak Kevin ceria. "Keenan ini mau nginep di rumah kita lho! Asyik, kan?"
"Ih, asyik apaan!" Gadis itu berjalan ke arah dispenser namun matanya masih menatap tajam ke arahku. Ia mengisi gelasnya dengan air putih. "Eh lo mayat hidup! Mending lo pulang, gue gamau liat muka lo!"
"Farah sayang..." Kak Kevin langsung menghampirinya dengan nada merajuk. "Keenan lagi kesulitan, cuma sebulan kok!"
"Sebulan?!" seru gadis gila itu histeris. "Ih no way!"
"Ayolah, Far!" kata Kak Kevin. "Gue gabakal biarin dia gangguin lo kok, lagian kan lo jadi punya temen di rumah!"
Farah makin menatapku tajam. "Tapi, gue kan udah punya Bi Inah. Ngapain gue butuh temen lagi?. Apalagi dia bukan siapa-siapa gue."
Kak Kevin menjentikkan jarinya. "Karena itu!" katanya. "Karena ada Bi Inah di rumah, Bi Inah bisa ngawasin kalian berdua dan lo bisa minta Bi Inah kalo Keenan kenapa-kenapa!"
"Ish yaudah, tapi nggak segampang itu!" Farah berjalan pelan ke arahku. Ia menaikkan dagunya tinggi-tinggi tanda menantang. "Gue punya satu taruhan buat lo!" Sekarang gadis gila itu berdiri tepat di depanku, wajahnya menunduk agar bisa melihatku yang sedang terduduk dan harus mendongak untuk bersitatap dengannya. Ia tersenyum miring.
"Taruhannya adalah kalau gue yang menang lo harus mau gue suruh apa aja dan tinggal disini selama sebulan , sedangkan kalo lo yang menang lo boleh tinggal di rumah ini sesuka lo."
Aku tersenyum miring meremehkannya. "Baiklah."
"Oh lo berani ya," desis gadis gila itu. "Kalo gue yang menang gue bakal bikin lo babu selama lo bisa diliat sama gue!"
"Ya ampun, Far!" kata Kak Kevin. "Lo kan udah punya pembantu Bi Inah, ngapain butuh babu lagi, sih? Masih kurang?"
"Ih, suka-suka gue dong," kata gadis gila itu. "Masa lo boleh seenaknya bolehin dia tinggal disini tapi gue gaboleh jadiin dia babu gue?"
Hahaha, memang gila gadis ini. Aku merasa begitu tertarik dengan tawarannya itu. Segila-gilanya dia, dia tidak akan mungkin membunuhku, kan?. Ah, ya, kalaupun aku dibunuh olehnya, aku akan sangat berterima kasih.
"Yaudah serah lo aja, tapi, gimana kalo gue yang nentuin taruhannya gimana?" usul Kak Kevin. "Mending kita lomba masak aja kebetulan gue laper nih, nanti menang kalahnya lo berdua boleh jalanin deal kalian itu!"
"Boleh!" kata Farah bersemangat. "Lo bisa masak nggak, mayat hidup? Kalo kalah jangan nangis ya, lo bakal jadi babu gue hahaha!"
Berlagak betul gadis ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, Keenan! [SUDAH TERBIT]
RomanceSUDAH TERBIT Sebagian bab akan dihapus "Ketika seorang yang kucintai tidak tahu apa artinya jatuh cinta." Keenan Alvaro, pria muda yang berhati dingin dan berwajah kaku. Matanya yang hitam dan kulitnya yang pucat. Kisah misterius menyelubungi diriny...