reconnected [ /ˌriːkəˈnektɪd/ ]: connect back together.
We've been hurt, kicked down-totally devastated. We just try to keep living with the numb feeling.
This is how it feels now. Nothing.
At the time, when God has his plans-when we are ready to e...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
(or you can just click the shortcut link in my bio)
***
DISCLAIMER
This is a work of fiction. This novel's story and characters are fictitious. Certain long-standing institutions, agencies, and public offices are mentioned, but the characters and issues involved are wholly imaginary.
Also, with the theme, issues related have been rearranged to suit the convenience of the novel and with the exception of public figures, any resemblance to person living or dead is coincidental.
You can send me messages or just leave on comment section if you have something agree or dissagree with.
***
Jakarta, Indonesia.
Thamrin masih macet seperti biasanya.
Entah sudah berapa puluh menit mobilnya tertahan pada posisi yang sama, alih-alih mengumpat atau menekan klakson seperti pengguna jalan lainnya, Aline justru menikmati-sudah menjadi kebiasaan baginya untuk memilih rute paling jauh atau yang terkenal macet sebagai salah satu cara untuk 'menghukum' dirinya sendiri.
Jemarinya hendak terulur untuk memutar musik pada CarPlay bersamaan dengan panggilan masuk dari iPhonenya. Tangan Aline dengan sigap memasang airpod di salah satu telinga, mengurungkan niat sebelumnya setelah melihat caller id yang terlihat di layar gadgetnya itu. "Macet, Ben." Tanpa berbasa-basi, ia lebih dulu menjawab pertanyaan yang kiranya akan ditanyakan kakak sulungnya itu.
Suara dengkusan kentara terdengar dari arah seberang, membuat Aline yang kini menyandarkan punggung sepenuhnya di kursi pengemudi hanya bisa tersenyum kecil. "Kenapa nggak berangkat dari tadi, sih? Kan, udah diijinin juga?"
Perlahan, Aline meginjak pedal gas ketika dilihatnya kemacetan mulai terurai sedikit demi sedikit. "Repot, Ben. Kerjaan yang tadi memang nggak bisa ditinggal. Lo tahu sendiri gimana ribetnya anak-anak waktu mereka tahu kalau tugas ngerjain flyers dan bikin program baru buat MICE deadlinenya dibikin mepet banget." Ia membagi fokusnya lagi saat harus menjawab pertanyaan Ben barusan.
