REC-34

5.4K 757 127
                                    

Jakarta, Indonesia.

"Gen?" Linda membuka pintu kamar Geni perlahan. "Itu barusan koper terakhir, kan?" tanyanya merujuk pada koper yang baru saja diturunkan oleh asisten rumah tangganya.

Kepala Geni menoleh, lantas bergerak mengangguk. "Iya, Mbak. Sisanya biar di sini dulu. Ntar kalau ada waktu buat balik lagi ke Surabaya, baru aku pindahin semuanya."

Linda ikut menganggukan kepala. Membiarkan pintu kamar yang ditempati Geni terbuka, ia berjalan memasuki kamar dan memilih duduk di sisi ranjang—memperhatikan Geni yang terdiam di kursi kecil yang berada di samping rak buku.

"Gimana tempat tinggalmu di sana, Gen?"

Akhirnya, pertanyaan itu keluar juga dari bibir Linda. Sejak 4 hari lalu—sejak keberangkatan Geni yang tiba-tiba saja ke Bali—setelah 'mereka' mendapatkan kabar buruk tentang apa yang menimpa Aline—sampai Geni kembali ke Jakarta hari ini untuk mengemasi sisa barangnya yang tertinggal, Linda tidak sanggup untuk mengajak Geni yang terlihat muram untuk mengobrol.

"The environment is relaxing."

Linda menaikkan kedua alisnya, tahu kalau Geni belum selesai dengan ucapannya. "Tapi?" sambungnya, menunggu kelanjutan dari Geni.

"Mau senyaman apa pun tempat tinggalnya, kalau nggak ada Shela, ya, tetap aja kerasa kurangnya." Raut Geni berubah masam, ia lalu dengan cepat menggelengkan kepala. "What exactly happened to me? Oh, I must stop thinking and become selfish!" gumamnya, merujuk pada dirinya sendiri.

Melihat bagaimana gelisah dan frustrasinya Geni saat ini, Linda berusaha memahami. Ini adalah pengalaman pertama Geni tinggal berjauhan dengan Shela, dengan jangka waktu yang tidak bisa ditentukan.

Sejak bayi, Geni hanya tinggal berdua saja bersama Shela. Dan, keputusannya untuk pindah ke Bali karena pekerjaan bukanlah keputusan yang mudah. Linda yakin, jika pria itu bisa memilih, ia akan memilih untuk berada di samping Shela.

Tapi, cara dunia bekerja tidak akan pernah bisa memberikan Geni pilihan yang ia inginkan.

"You simply must be patient. Nanti, pasti akan ada waktunya kamu bisa kumpul lagi sama Shela, Gen."

Dengan bahu yang meluruh dan kepala yang tertunduk dalam, Geni berbisik hampir merintih. "Ya."

Linda membuang napasnya kasar, merasa iba soal situasi yang harus dihadapi Geni saat ini. Bukan hanya soal pekerjaannya, dan jarak jauh yang membentang di antara Geni dan Shela, tapi juga mengenai hal lain—kegelisahan lain yang terlihat jelas dari wajah muram pria itu sekarang.

"You should know that I will always be open to hearing your concerns. Jangan disimpan sendirian, Gen." Linda mengulas senyum tipis saat Geni mengalihkan tatapan ke arahnya.

Di tempatnya, Geni ikut tersenyum kecil sembari menganggukan kepala. "Thank you, Mbak."

"Adik-adik gimana? Kamu udah ngejelasin ke mereka soal kepindahan kamu ke Bali, 'kan? Meskipun, mereka diam aja ketika kamu datang tadi—mereka selalu tanya ke aku, Gen. However, I purposefully kept my mouth shut because you are the one who deserves to explain everything to them."

Setelah berita penangkapan Sadjat Bundar ramai di media, ketiga adik Geni memang memutuskan untuk mengambil cuti untuk menemani sang Bapak yang kabarnya akan segera dipindahkan ke Lapak Sukamiskin beberapa minggu lagi. Dan, sudah dua hari ini keduanya memutuskan untuk menginap di rumah Linda saat Satria tidak sengaja mengatakan soal posisi Geni yang sudah tidak bekerja lagi di Primland Surabaya.

"Sudah, kok." Geni menjawab dengan suara yang pelan. "It's not that I don't want to explain, but I don't want to burden them any longer," sambung pria itu, masih terdengar sama pelannya.

RECONNECTED (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang