Jakarta, Indonesia.
"Look what the cat dragged in!"
Tanpa menggubris sapaan dari Algis, Nolan segera menarik salah satu kursi yang berada di barisan seberang pria itu dalam sekali sentak. Kepalanya menggeleng pelan, merasa tidak paham sekaligus takjub melihat bagaimana santainya Algis di tengah banyaknya pengunjung lain di salah satu cabang bakso Solo Samrat siang ini.
Bukannya tidak menyadari, Nolan sudah tahu bahkan sejak ia baru saja hendak memarkirkan mobilnya. Beberapa ajudan Algis yang sebenarnya jumlahnya terlalu banyak itu terlihat ikut mengatur laju kendaraan yang parkir, dan beberapa yang lain menjaga keadaan di sekitar. Begitu turun, tidak sulit melihat Algis tanpa masker yang menutupi wajahnya melambaikan tangan ke arahnya.
Nolan mengibaskan tangannya di udara. "Just keep your lips sealed!"
"Kabar?" Algis bertanya singkat.
Sudut bibir Nolan menyeringai, memberikan tatapan tajamnya pada Algis. "Do I have to answer your question?" tanyanya balik.
"Cool your jets, lah!" Pria itu lalu menunjuk tepat ke arah wajah Nolan. "Mulut lo mending dibuat ngunyah, daripada nganggur cemberut doang."
Menghiraukan ejekan Algis, Nolan menatap ke keseluruhan tempat makan yang didatanginya sekarang. Hampir seluruh pengunjung yang menghabiskan waktu mereka untuk makan siang terlihat lebih tertarik melihat ke arah meja mereka daripada menikmati bakso pesanan mereka. Harusnya Nolan tahu konsekuensi ada di tempat yang sama dengan Algis jauh sebelum ini, tepatnya kemarin saat ia datang ke pelantikan Duta Besar Luar Biasa untuk menemani Saraswati.
Siapa yang menyangka kalau momen mengobrol bersama Algis bisa menempatkannya pada situasi yang complicated semacam ini?
Suara Algis membawa tatapannya kembali menuju meja mereka. Pria itu sempat mengangkat iPhone yang ada di telinganya, meminta ijin sekaligus memberi isyarat kalau dia sedang berbicara dengan seseorang. "Di mana? Ini gue udah nyampe dari tadi, sih. Santai aja. Hah? Oh, gue masih ada kerjaan lain juga. Ya, kalau kelamaan gue tinggal lah!"
"Lo ada kerjaan lain abis ini, Gis?" Nolan bertanya ketika Algis menyudahi percakapan lewat sambungan telepon.
"Gue emang kelihatan nganggur banget, ya?" Ia menunjuk dirinya sendiri. "Gimana? Udah ngobrol sama Ibu Saraswati?" Pada akhirnya, Algis yang lebih dulu memulai obrolan tentang alasannya menghubungi pria itu kemarin.
Mengingat obrolan bersama Saraswati sebelum datang ke sini hanya bisa membuat Nolan menghela napasnya panjang. "She finally fessed up but we've been arguing about that issue, natch." Ia bahkan memutar kedua bola matanya malas.
"Well, she just worried about you, Lan. She might not predict that you will appear in public with the kind of bad rumors. As a mother—do I really need to explain this to you?"
Nolan berdecak pelan, ia mengetuk permukaan meja dengan jemarinya. "Point taken. But her miscalculation has created another troublesome problem." Tidak ingin sepenuhnya disalahkan, Nolan mencoba menyanggah.
"So, your auspication about your Mom who has relation with the rumors that spread tommorow are true?" Algis melipat kedua tangannya di depan dada, menunggu jawaban.
Nolan mengangguk sekali. "Nyokap ngotot bilang terpaksa. There was no way out selain nurunin berita yang jauh lebih besar daripada rumor yang menyangkut nama gue. To my way of thinking, it ought to be easy to sort out the problems without adding those complex game plans," ujarnya diimbuhi helaan napas panjang.
Di seberangnya, Algis berdecak dramatis sambil menggelengkan kepala. "Your way of thinking is just as green as grass." Melihat Nolan tidak menanggapinya, Algis kembali melanjutkan. "Should I give you a warm greeting from earth, Mr. Preternatural creature?"
KAMU SEDANG MEMBACA
RECONNECTED (COMPLETED)
ChickLitreconnected [ /ˌriːkəˈnektɪd/ ]: connect back together. We've been hurt, kicked down-totally devastated. We just try to keep living with the numb feeling. This is how it feels now. Nothing. At the time, when God has his plans-when we are ready to e...