Jakarta, Indonesia.
The blank expression in those eyes...
The sad expression that framed that beautiful face...
Someone's heart was completely broken by a series of straight sentences his mouth spoke...
Perasaan sesak dan berat ini dirasakan Geni sejak beberapa hari lalu-sejak kunjungan terakhirnya ke kediaman utama keluarga Palmasih. Juga, karena-
"Papa..."
Shela kembali memutar wajahnya, kali ini menghadapkan ke wajahnya-berhadapan langsung dengan dagu Geni karena posisinya yang tengah terlentang di atas karpet di ruang tengah rumah Satria dan Linda.
"Papa kamu sampai napasnya berat gitu, loh, Shel..." Linda yang sejak tadi memperhatikan dari sofa hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan anak dan ayah itu.
Sudah semingguan ini, Geni tinggal di Jakarta. Selain karena ingin tahu detail mengenai masalah yang kini membelit Ayahnya, Geni juga tidak lagi punya tujuan yang jelas jika bersikeras untuk tetap tinggal di Surabaya.
Mengabaikan ucapan Linda, Shela dengan cueknya menumpu dagu di atas dada Geni sembari menggumamkan beberapa lagu yang dipelajarinya di sekolah.
"Susah banget dibilanginnya." Berbanding terbalik dengan Linda yang mengomel, Geni justru tertawa pelan sambil menyisiri rambut Shela dengan jemarinya. "Biasanya nggak ada loh Shela kayak begini, Gen. Abis makan, paling minta ditemenin mewarnai. Kalau ada Satria, dia minta anter jalan-jalan di sekitar komplek," terang Linda, masih sambil menggelengkan kepalanya.
"Lama-lama, sesek juga, ya..." Meski terus-terusan mengambil napas panjang yang berulang, Geni sama sekali tidak berniat menyuruh Shela untuk pindah. "Kangen, lah, Mbak. Biasanya, 'kan, apa-apa sama Papanya. Sejak pindah ke Jakarta, aku belum pernah main ke sini." Sembari menanggapi, tangan Geni tidak henti menyisiri rambut Shela yang masih terlihat anteng bersandar di atas dadanya.
Di sofa, Linda mengangguk menyetujui. Selama semingguan ini, Shela bisa dibilang sangat lengket dengan Geni. Gadis berusia 13 tahun itu tidak akan mau berangkat ke sekolah kalau bukan Papanya yang mengantar, dan akan menunggu di depan gerbang sekolah kalau bukan Geni yang menjemput.
Entah bagaimana Shela memandang Geni selama ini, tapi Linda tahu kalau Geni merupakan sosok orang tua yang sangat bisa diandalkan.
Linda mengalihkan pandangannya ke arah taman yang berada di samping ruang tengahnya. Ia mencoba mengerjapkan matanya beberapa kali, menghalau agar air matanya tidak jatuh.
"Adik-adik kamu gimana, Gen?" Setelah beberapa menit mendengar beberapa lagu yang dilantunkan oleh Shela, Linda akhirnya bertanya-mengulik satu topik yang cukup sensitif untuk dibahas bersama Geni.
Geni menghentikkan usapan tangannya di rambut Shela, lalu menumpukannya di belakang kepala. Sembari menengadah, pria itu menghela napas berat. "The three of them were obviously taken aback. As far as what I've heard, Ganggi fainted when she heard about the Bapak corruption case." Sekali lagi, Geni terlihat menghela napasnya panjang sebelum kembali melanjutkan, "jujur, aku juga sama kagetnya, dan bingung harus gimana."
"Terus, sekarang gimana?"
Kedua bahu Geni mengedik bersamaan. "I've tried to contact some families, but as you know, they're not much help. Bahkan, beberapa dari mereka juga ngancem untuk nggak ngehubungin mereka dulu-sebelum kasus Bapak beres," terang Geni, kembali mengingat perlakuan yang ia terima saat berkunjung ke rumah adik dari Bapaknya.
Linda ikut membuang napasnya kasar setelah mendengar cerita dari Geni. "Kalau Pak Sadjat sendiri gimana?"
"I'm not even sure about that. Those who are interested actually cut off access. Aku sama adik-adik cuma bisa ngikutin kabar Bapak lewat media aja."
KAMU SEDANG MEMBACA
RECONNECTED (COMPLETED)
ChickLitreconnected [ /ˌriːkəˈnektɪd/ ]: connect back together. We've been hurt, kicked down-totally devastated. We just try to keep living with the numb feeling. This is how it feels now. Nothing. At the time, when God has his plans-when we are ready to e...