REC-18

5.8K 770 158
                                    

Surabaya, Indonesia.

"Tinggal sama suami?" Sintya berujar keras, menatap wanita yang kini tengah menghindari tatapan matanya. "Sumpah, bercandaanmu nggak banget, Lin!" Tubuh Sintya terlihat bergerak, semacam bergidik.

Di seberang meja, Aline hanya mampu mendengkus kesal. Ia tidak bisa menyalahkan reaksi yang ditunjukkan Sintya ketika ia menceritakan mengenai pertemuannya dengan Nolan tiga hari lalu di Jakarta.

Setelah menceritakan secara singkat lewat chatting, Sintya meminta untuk bertemu dengannya. Wanita yang akhir-akhir ini sibuk mengurus butik Ibunya itu bahkan sudah membuat reservasi di De Soematra setelah Aline mengiyakan tawarannya.

"I think you should learn how to throw a joke, deh. I can't imagine how awkward it must have been for Nolan to respond to what you said at that time." Kepala Sintya menggeleng pelan, lalu tangan wanita itu bergerak menutup wajahnya sendiri, seperti ikut malu ketika membayangkan kejadian yang dialami Aline.

Setelah menceritakan ulang, dan melihat sendiri bagaimana Sintya juga terlihat tidak habis pikir dengan apa yang dikatakannya, Aline hanya mampu meringis pelan. "I don't even know why I said that to him at our first encounter after two years of not seeing each other," ujar Aline pelan, sambil memijit pelan pelipis kepalanya.

Sintya melemaskan tubuhnya dengan bersandar penuh pada kursi, ia menatap Aline prihatin. "I'm actually too embarrassed to know what happened after that. But, how did Nolan respond when he heard your guff?"

"Ya... begitu itu..." Aline sengaja menempelkan sisi cangkir teh di bibirnya. "The funny thing is, the two of us nattered smoothly," lanjutnya, kembali mengingat bagaimana Nolan dan dirinya yang tetap menyambung obrolan, meski suasana dan keadaan mereka masing-masing sama sekali tidak mendukung.

Mulut Sintya terbuka lebar, ia lalu menegakkan tubuh, dan mendekatkannya ke meja. "You guys are incredible!" serunya, tidak benar-benar mengucap pujian.

"That doesn't sound like a compliment at all," timpal Aline sambil menopang dagu dengan salah satu tangannya.

"So, how do you feel after meeting him?" Sintya masih bersidekap saat menanyakan pertanyaan barusan. Ia menatap lurus pada Aline.

Sementara yang ditanya langsung menipiskan bibir, dan menurunkan pandangan. "I don't even know how I felt at that time. Since Nolan 'disappeared' after our divorce, and none of his closest friends knew where Nolan had gone, I had absolutely no hope of seeing him again." Aline menghentikan ucapannya sebentar guna membuang napas perlahan. "'Okay, maybe not seeing each other again is a good thing for both of us.' That's what I thought at the time," lanjutnya lirih.

"It's freaking mind-bending." Aline kembali berbicara singkat, merangkum jawabannya.

Seperti paham dengan apa yang dimaksud oleh Aline, kepala Sintya mengangguk beberapa kali. "However, I'm quite amazed by how much more mature you are. I mean, you might choose to leave. Well, as you said earlier, you two haven't seen each other for a long time."

"Makin tua maksud lo?" Aline tertawa kecil. "Kalau dulu—waktu umur gue masih muda—kayaknya gue bakal milih pergi daripada liat Nolan. Ya, lo tahu banget gue modelnya kayak gimana dulu, kan?" akunya mengingat labil, kekanak-kanakannya ia dulu. "As I got older, I got tired of complicating things. Ngerti, nggak, sih? Kalau bisa dibuat simple, jangan dibikin ribet."

Diluar pengamatan Sintya, Aline malah mendengkus pelan ketika mengingat lagi apa yang dia katakan barusan.

Saking tidak inginnya dibuat rumit, Aline membiarkan orang lain menentukan jalan hidupnya. Prinsip yang dipegang Aline setelah umurnya bertambah itu juga yang membawanya ke Surabaya. Melepas semua keinginannya untuk kembali ke tempat yang dia inginkan, menuruti semua perintah keluarganya. Satu prinsip baru yang ia namakan kedewasaan.

RECONNECTED (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang