REC-8

7.1K 895 136
                                    

Surabaya, Indonesia.








Have you ever feel worried, scared, anxious about life? What would you do if you realise too late that now your feet probably walking in the wrong way?

How long are those terrible feelings lingering around? "It will stay right there—always—because you already trapped and yet won't make any decision for yourself. What a waste!" He said, pointing to one of the characters of the movies that they watched together that night.





Aline tahu, dia tidak hidup di dalam film mana pun. Tidak ada kamera yang menyoroti, tidak ada script yang harus dihapalkan, tidak ada kata 're-take' saat ia melakukan kesalahan, juga 'cut' yang dapat mengakhiri dan mengemas satu scene dengan apik.

"Ini udah berapa minggu coba? Well, it doesn't surprise me anymore when I heard her track record in the previous office... tapi, ngeliat dia di sini nggak bisa apa-apa, tetep aja bikin senewen!"

Tawa-tawa keras saling bersahutan, sebelum suara lain menimpali, "well, that one is her biggest sin." Meski terselip tawa pada setiap kata yang diucapkan, Aline masih sanggup mendengar dengan jelas.

"Huh? Apaan?" sahutan lain terdengar setelahnya, menyuarakan ketidakpahaman

"Born rich with no brain..."

Kepercayaan diri seharusnya tidak membuat seseorang mendadak lupa diri. Itu yang dipercaya Aline, tapi kenapa semua justru terjadi kepadanya?

Pengakuan? Apa itu yang ingin ia dapatkan? Setelah itu, apa lagi yang harus didapatkan Aline untuk bisa menyenangkan hati orang lain? Agar dapat bisa memantaskan diri—apa lagi yang harus dikorbankannya nanti?

"Perkara disuruh kasih ide juga  nggak bisa. We know with the fact that everyone around her protected and supported her, tapi kalau soal pekerjaan, kasih dia jabatan yang sesuai dikit, lah. Ini nggak bisa apa-apa, ngomong di depan orang banyak—halah, yang cuma kita-kita doang aja—langsung bisu seribu bahasa."

Persetujuan lain didapatnya dari sahutan berbeda, masih pada kumpulan staf PR yang berdiri menunggu di depan lift. "I'm not gonna blame her like you. Well, there are a lot of people with that kind of privilege yet don't have—"

Aline menurunkan pandangan, menatap ujung high heels dengan senyum memaksakan. Tubuhnya masih bersandar pada salah satu pilar besar yang memisahkan lift dan lorong ruang meeting.

Suara tawa sumbang sebelumnya sudah tidak lagi terdengar, Aline membalik tubuhnya sedikit melewati pilar, mengintip dari balik sana. Matanya tiba-tiba panas ketika menyadari apa yang sedang dilakukannya sekarang—bukan—lebih tepatnya, ketika menyadari perubahan itu ternyata sudah berdampak sejauh ini kepadanya.

Suara denting membuat langkah Aline terburu-buru menghampiri pintu lift yang terbuka. Ia mendadak salah tingkah dan segera masuk dengan sungkan saat sosok Geni berdiri di dalam lift sendirian sambil menatapnya keheranan.

Bukannya segera menekan tombol untuk menutup pintu lift karena Aline sudah berada di dalam, Geni justru melongokkan kepalanya—menolehkan ke kanan dan kiri—sebelum mengembalikan tatapan pada sosoknya yang sedang berdiri di ujung ruang lift.

"Anda dikejar hantu? Di siang bolong begini?" Pertanyaan itu jelas dapat jawaban dengan gestur yang sama dari Aline. Sambil mengernyitkan kening, Geni melanjutkan, "si Mbak biasanya sweeping malam-malam. Apa dia ada jadwal lain dan belum update ke saya, ya?" Lagi, Geni bertanya, kali ini ia menghadapkan seluruh tubuhnya ke depan dan membiarkan pintu lift tertutup perlahan.

Terjebak bersama Geni di satu tempat yang sama—meski hanya sebentar—tidak terhitung sebagai suatu keberuntungan seperti yang sering ia curi dengar dari obrolan staf-staf Primland. Setelah bekerja di sini selama kurang lebih satu bulan, Aline baru tahu kalau Geni cukup populer di kalangan staf Primland Surabaya. Bukan hanya karena jabatan tinggi pria itu saja yang dilihat oleh staf-stafnya, wajah tampan Geni juga masih menjadi obrolan menarik di kalangan para staf wanita di sini.

RECONNECTED (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang