Surabaya, Indonesia.
"It's a small world, indeed." Raka menurunkan cangkir kopinya, bibirnya mengulas senyum kecil dengan pandangan lekat ke arag salah satu pengunjung yang duduk di bagian pojok restaurant.
Nolan mendengkus, enggan berkomentar. Padahal, matanya sempat melirik sebentar ke arah yang sama di mana Raka masih menaruh fokus penuhnya sampai sekarang.
"Terima kasih Tuhan karena Brigitta nggak jadi ikut ke sini." Nolan mengernyitkan keningnya dalam. Ia tidak merasa mengatakan apa pun, tapi kenapa pikirannya terdengar jelas? "Lo pasti mikir begitu, 'kan, sekarang?" Raka melanjutkan ucapannya, membuat tubuh Nolan terkesiap.
Sempat kebingungan, Nolan berdecak pelan sebelum mengangkat cangkir americano miliknya. "Waktu yang di De Soematra kemarin itu, I had no idea that Eli had met Aline. Raihan and I were the first to enter the restaurant. After that, Bri didn't say anything. Even though Eli cried and complained to me. She said that she met with her Mami outside the restaurant."
"Eli juga ngadu ke gue." Raka kelihatan tidak terkejut. Pria itu malah menganggukan kepalanya, terlihat santai. "After that, Brigitta took the phone. Dia bilang Eli lagi kangen aja, makanya ngomong begitu."
Mendengar penuturan Nolan, Raka tidak bisa menahan tawanya. "Karena itu juga lo datang ke sini?"
"Nggak," balas Nolan cepat. "Gue juga lagi ada kerjaan di Surabaya. Sekalian nyamperin Elijah sama Raihan," tambahnya setelah berdeham beberapa kali karena menemukan tatapan Raka yang ingin menggodanya.
Di kursinya, Raka hanya mengangguk-angguk. "Berarti nggak ada niat buat ketemu Aline, ya? Seru juga, bisa ketemu di sini."
Nolan mendengkus, ia tahu benar kalau Raka tengah mengejeknya sekarang. Sebenarnya, Nolan juga tidak berbohong soal pekerjaan yang harus diurusnya di Surabaya, dan mengingat Eli sempat mengatakan soal pertemuannya dengan Aline—kenapa tidak sekalian saja? pikirnya saat memutuskan untuk langsung berangkat ke Surabaya tadi malam.
"Interesting, right?" Raka kembali buka suara, membuat Nolan menolehkan kepala menatap kakak iparnya dengan raut heran. "Lo terakhir ketemu Aline kapan, Lan?"
Nolan mengedikkan bahunya, "I don't know. I don't remember," jawabnya asal. Menutupi fakta kalau baru-baru ini ia pernah sudah pernah bertemu dengan Aline setelah perceraian mereka.
"Sekalinya ketemu..." Tatapan Raka mengarah ke arah meja yang diduduki Aline. "... begini ternyata," tambahnya sambil tertawa.
Masih bingung, Nolan memutuskan untuk bertanya. "What do you mean?"
"Ya, itu." Dagu pria itu mengedik ke arah meja Aline. "Wisanggeni Widjaja," ucapnya, menyebut nama pria yang sejak tadi tidak melepaskan tatapannya dari Aline. "Aline kenal sama dia?" tanyanya terdengar sangat penasaran.
Lagi, Nolan menaikkan kedua bahunya bersamaan. "I don't know."
Mendengar jawaban Nolan, kepala Raka sontak menoleh cepat ke arahnya. "Huh?" Kening pria itu mengernyit dalam. "So, you just found out that they..." Raka tidak perlu melanjutkan ucapannya, karena dia tahu Nolan paham dengan apa yang dimaksudnya.
Kira-kira bagaimana reaksi Raka saat tahu kalau Nolan sudah pernah bertemu Aline dan Geni sebelumnya? Lalu, bagaimana Raka akan merespons perilakunya yang diam-diam mencari tahu soal Geni lewat sosial media, dari beberapa kenalannya.
Karena takut kebohongannya terbongkar, Nolan memilih diam—enggan merespons. Di tempat duduknya, Nolan bisa melihat dengan jelas kedekatan Aline dengan salah satu gadis muda yang berada di meja yang sama dengan Geni dan mantan istrinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
RECONNECTED (COMPLETED)
ChickLitreconnected [ /ˌriːkəˈnektɪd/ ]: connect back together. We've been hurt, kicked down-totally devastated. We just try to keep living with the numb feeling. This is how it feels now. Nothing. At the time, when God has his plans-when we are ready to e...