REC-14

5.8K 783 149
                                    

Surabaya, Indonesia.


[Geni's Pandora Box]

"Linda masih ngajak ngobrol Srikandi di dalam. Kamu tunggu di sini dulu, Gen."

Geni menghela napas panjang, kedua tangannya mengepal erat di sisi tubuh. Matanya masih belum lepas dari pintu ruang perawatan Shela—tempat di mana ia sempat bersitegang dengan Srikandi beberapa menit lalu, sebelum Satria dan Linda yang menunggu di dalam kamar perawatan keluar untuk memisahkan mereka berdua.

Satria berjalan melewati tubuh Geni, berdiri dengan menyandarkan punggungnya pada dinding lorong kamar perawatan Shela. "Dari empat hari yang lalu dia sama Shela nunggu kamu, Gen."

Di tempatnya berdiri, Geni menelan salivanya susah payah. Ia tidak bisa melakukan apa pun, selain menundukkan kepalanya dalam selagi Satria—kakak kandung mendiang istrinya—berbicara.

"Kamu dari mana aja?" Pertanyaan sama kembali terdengar. Bedanya, kali ini bukan teriakan yang menyapa rungunya.

Memundurkan langkah ke belakang, Geni masih memilih diam. Jujur, keadaan yang sekarang sedang dihadapinya jauh lebih rumit. Geni sama sekali tidak menyangka kalau reaksi Srikandi akan se-histeris itu saat melihatnya berdiri di depan ruangan perawatan Shela beberapa menit lalu.

"Kerja, Mas," jawabnya singkat.

"Srikandi telpon ke kantormu, Gen." Tubuh Geni sontak menegang, ekor matanya melirik ke arah Satria yang terlihat menatapnya lurus dengan pandangan datar. "Mereka bilang kamu ambil cuti tiga hari ini. Ada urusan penting di luar kantor memangnya, ya?"

Pertanyaan yang diajukan Satria sama sekali tidak bernada sinis, atau ditujukan untuk menyudutkannya. Tapi, tetap saja Geni merasa seperti sedang diadili.

Kepala Satria mengangguk sekali ketika Geni tidak kunjung memberi respons. "Kalau memang kamu cuti karena masalah pekerjaan, ya, nggak pa-pa, Gen. Cuma, lain kali bisa lah kamu ngehubungi Srikandi dulu. Jangan mendadak ilang, nggak bisa dihubungi sama sekali. Adik kamu itu sendirian loh ngurusin Shela sebelum Mas sama Mbak Linda datang ke sini," tuturnya memberitahu sedikit alasan dibalik sikap kasar Srikandi tadi ketika bertatap muka dengannya.

Dengan kepala yang masih tertunduk, Geni mengucap lirih. "Maaf."

"Maaf buat apa?" Nada yang keluar dari bibir Satria setelahnya berubah datar.

Bukannya menjawab, Geni malah terisak pelan di tempatnya berdiri sekarang. Sementara Satria dalam diam hanya memperhatikan.

"Bukan karena pekerjaan lain, kan?" Mendadak Satria berucap, sesuai perkiraannya begitu Srikandi memberitahu mengenai ketidakhadiran Geni saat Shela berada di rumah sakit. "Duduk sana." Dagunya mengedik ke arah kursi yang berada di seberang ruang perawatan Shela.

Sambil menenangkan dirinya sendiri, Geni melangkah mundur sebelum mendudukkan diri di kursi sendirian. "Shela, gimana keadaannya, Mas?" tanyanya begitu tangisnya mereda.

"Udah membaik. Nggak usah khawatir lagi." Satria melipat tangan di depan dada. "Gen—"

Belum sempat Satria merampungkan ucapannya, Geni lebih dulu menyela dengan menggerakan kepalanya naik-turun berkali-kali. "Tahu, Mas. Geni memang salah," ungkap pria itu singkat. "Kerjaan kemarin lagi overload banget."

"Jadi, salah kerjaanmu ya, Gen?" Satria bertanya retoris. "Yang di dalam sana, yang lagi sakit dan di rawat di dalam sana itu anakmu, Gen!" Dengan telunjuknya, Satria menunjuk ke arah pintu kamar perawatan yang ditempati Shela.

Lagi, kepala Geni hanya mengangguk. "Tahu, Mas," balasnya hampir tidak terdengar.

Ingat bahwa keduanya sedang berada di lorong rumah sakit, Satria berhenti berbicara untuk beberapa saat. Selagi menenangkan diri, kedua matanya tidak lepas dari tubuh Geni yang membungkuk di hadapannya.

RECONNECTED (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang